Bubur Syurbah Biasa Dihidangkan dengan Kopi Jahe oleh Warga Keturunan Hadramaut di Pekojan

Bubur syurbah juga dikenal sebagai bubur kuning pekojan.

Prayogi/Republika.
Bubur syurbah alias bubur kuning pekojan dihidangkan ketika waktu berbuka puasa di Malaka Restaurant, Hotel Mercure Jakarta Batavia, Senin (4/4/2022). Ramadhan kali ini, Mercure Jakarta Batavia dibawah payung program Accor Ramadan Wonderful Indonesia mengangkat salah satu destinasi wisata Kota Tua Pekojan. Kawasan Pekojan merupakan sebuah perkampungan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat dikenal sebagai Kampung Arab.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kawasan Pekojan, sebuah perkampungan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat telah lama dikenal sebagai Kampung Arab. Penyebutan itu dimulai sejak abad 18 di masa kolonial Belanda karena banyaknya imigran yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan) menetap di kampung ini.

Pada era tersebut, VOC menetapkan kebijakan Wijkenstelsel, yaitu dengan mengolonikan orang di suatu lokasi berdasarkan etnis mereka. Pekojan dulunya dihuni oleh kaum Muslim Koja atau Muslim India yang berasal dari Bengali.

Nama Pekojan sendiri diambil dari kata Khoja atau Kaja yang merupakan daerah di India dengan penduduknya yang beragama Islam dan bekerja sebagai pedagang. Selain untuk dagang dan syiar Islam, kedatangan orang Hadramaut ke Indonesia sekaligus memperkenalkan berbagai tradisi dan makanan khas, salah satunya bubur syurbah yang biasa disantap ketika berbuka puasa.

Baca Juga



"Bubur ini dibawa oleh leluhur saya, jamaah Hadramaut atau disebut juga ulama-ulama Habaib yang datang ke Indonesia untuk meneruskan perjalanan Wali Songo atau Sembilan Wali yang terputus, mereka berdakwah sambil berdagang," kata Habib Achmad Alwi Assegaf, keturunan keenam dari jamaah Hadramaut.

Habib Achmad mengatakan, bubur syurbah yang kemudian dikenal sebagai bubur kuning pekojan ini bercita rasa khas karena menggunakan daging domba. Biasanya, bubur syurbah dinikmati sebagai takjil bersama dengan kopi jahe, teh na’na (mint), hingga kurma.

"Kalau orang Indonesia kan biasanya takjil itu kolak, kue pisang, gorengan, tapi orang Arab itu takjilnya ya bubur syurbah ini, tapi makannya juga nggak sebanyak orang beli bubur di tukang bubur, dikit aja buat pengganjal. Terus ditambah kopi jahe, dan kalau yang suka teh bisa teh na'na, habis itu korma deh," kata dia.

Dulunya, saat Ramadhan, tiap rumah bergantian menyajikan makanan ini untuk dibawa ke masjid. Namun, sekarang tradisi itu sudah jarang dijumpai karena banyak yang tidak menguasai resep ataupun karena warga keturunan Arab banyak yang berpindah ke luar Pekojan. Itulah yang membuat bubur syurbah ini tidak populer lagi di Pekojan.

"Warga keturunan Arab di sini juga sudah makin sedikit, sudah lebih banyak orang China dan warga lokal, tapi sebenarnya semua keturunan Arab pasti bisa bikin bubur syurbah, termasuk saya," jelas Habib Achmad kepada Republika.co.id, Senin (4/4/2022).

Habib Achmad Alwi Assegaf pengelola Masjid Langgar Tinggi, Pekojan, Jakarta, Senin (4/4/2022). Masjid yang merupakan salah satu masjid tua di wilayah DKI Jakarta ini awalnya dibangun sebagai langgar pada tahun 1249 H atau 1829 M. - (Prayogi/Republika.)

Menurut Habib Achmad, bumbu-bumbu untuk membuat bubur syurbah juga tak sulit didapat di Indonesia. Butuh jinten, ketumbar, dan bumbu gulai.

"Bumbu di Indonesia banyak, jadi tidak terlalu sulit untuk bikinnya. Tapi yang bikin beda, tangan yang masak aja," kata Habib Achmad yang juga imam Masjid Langgar Tinggi Pekojan.

Habib Achmad juga mengapresiasi diangkatnya bubur syurbah atau bubur kuning pekojan sebagai menu spesial untuk berbuka puasa dan sarapan di Hotel Mercure Jakarta Batavia. Ia pun berharap, bubur syurbah tidak sekadar legenda, namun bisa terus eksis sampai nanti.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler