Perilaku Islami di Era Disrupsi dalam Pandangan Psikologis
Perilaku Islami di Era Disrupsi dalam Pandangan Psikologis
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Era disrupsi—kondisi dimana terjadinya inovasi serta perubahan besar atau mendasar ke dalam suatu sistem baru—telah membawa berbagai perubahan dalam tatanan masyarakat. tidak terkecuali dalam aktualisasi nilai keagamaan. Jika merujuk pada hasil-hasil penelitian tentang keagamaan atau religiusitas, terdapat dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama memandang agama menjadi sumber keterbelakangan bahkan lekang oleh kemajuan dan modernitas. Akan tetapi di sisi lain, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa agama sebagai sumber inspirasi yang selalu bermanfaat dan mencerahkan bagi kehidupan manusia.
Menurut Anisia Kumala Masyhadi hal tersebut terjadi karena perbedaan motivasi beragama. Ada orang yang beragama karena motivasi intrinsik, yaitu orang yang beragama hanya untuk memenuhi kebutuhan. Dengan kata lain, agama hanya sebagai kebutuhan dirinya sendiri. Sehingga apabila orang tersebut tidak menjalankan agamanya dengan baik maka dia sendiri yang akan merasa tidak baik.
“Dalam bagian yang lain, ada orang yang beragama dengan motif ekstrinsik. Yaitu beragama hanya untuk mendapatkan penghargaan serta apresiasi dari orang lain.” Lengkap Anisia Kumala dalam Pengajian Ramadhan 1443 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Rabu (6/4).
Lebih jauh, Anisia juga membagi level agama seseorang ke dalam dua level. Pertama, level disposisional yaitu ciri keberagamaan yang ditunjukkan dengan seberapa religius dan bagaimana komitmen seseorang terhadap ajaran dan praktik agama. Kedua, level operasional yaitu merujuk pada ekspresi keberagamaan, dan bagaimana agama menjadi jalan hidupnya.
Dalam perspektif psikologi menurut Anisia, seseorang yang beragama akan tetapi indeks perilaku menunjukkan standar moral yang rendah terjadi karena level beragamanya masi pada level pertama. Yaitu sekedar menjalankan ritual dan praktek agama semata, dan belum menjadi way of life.
Hal ini tentu bertentangan dengan pandangan Muhammdiyah terhadap agama Islam. Sebagaimana termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) yang dikutip Anisia bahwa agama Islam adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara Nabi-Nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.
Anisia melihat bahwa di era disrupsi seperti saat ini, fenomena beragama semakin marak. Semakin banyak orang-orang yang menggunakan simbol keagamaan, majelis-majelis ilmu yang bertebaran di mana-mana.
“Serta kesadaran berhijab bagi Muslimah, itu juga menjadi semakin tinggi kalau kita bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.” Terang Anisia melalui materinya bertajuk “Aktualisasi Perilaku Islami yang Mencerahkan di Era Disrupsi (Perspektif Psikologi).”
Selain itu, akses belajar dalam hal ini belajar agama semakin mudah dengan kehadiran teknologi. Berbagai sumber ilmu dapat diakses tidak terbatas ruang dan wakut. Kendati menimbulkan hal positif, disrupsi juga menghadirkan beberapa tantangan. Sebut saja perubahan serba cepat yang membuat seseorang beragama menjadi tidak bermakna. Agama hanya menjadi ritual semata dan tidak memiliki makna positif bagi dirinya. Selain itu orang yang beragama cenderung mudah merasa benar sendiri. Semangat beragamanya tinggi akan tetapi tidak diikuti dengan ilmu yang mendalam.
“Ini juga tidak lepas dari adanya da’i yang sifatnya instan, tidak memiliki kedalaman ilmu akan tetapi kemudian memiliki popularitas dan jamaah yang banyak,” tutur Anisia.
Perihal tersebut juga termuat dalam hasil riset yang dilakukan pada mahasiswa. Dalam riset tersebut, Anisia menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat religiusitas tidak membuat mahasiswa memiliki inisiatif pertumbuhan diri.
“Inisiatif pertumbuhan diri itu maksudnya keinginan untuk maju, keinginan untuk menjadi lebih baik, keinginan untuk belajar sepanjang hayat, ini tidak berbanding lurus dengan keberagamaan Islam yang mereka tampilkan.” Jelas Anisia.
Mengenai berbagai masalah tersebut, Anisia menawarkan beberapa solusi antara lain dengan mengembangkan model pendidikan agama yang mencerahkan yang turut meluruskan bahwa agama bukan hanya sekedar ritual atau urusan syariat, tetapi juga sebagai sumber inspirasi dan membuahkan kebaikan perilaku; membangun mental masyarakat bahwa Islam adalah model perilaku aktual (mode for action) yang serba baik, sebagaimana dicontohkan Rasulullah, sehingga agama harus menjadi rujukan standar moral; menjadi fa’il subjek, produsen, dakwah yang mencerahkan. Tidak hanya sekedar maf’ul bih, objek dan konsumen yang tentunya dibarengi dengan penguasaan media dan teknologi terkini; serta kaderisasi ulama yang tafaqquh fiddien menjadi keniscayaan yang mutlak dan dilakukan by design, bukan by accident.
Berbagai langkah tersebut menurut Anisia dibungkus dalam manhaj wasatiyah dalam gerakan keagaaman bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, dan juga Tajdid. Manifestadi dari keagamaan yang wasatiyah ini adalah pribadi yang open mind, pribadi yang progressif, berinisiatif untuk mengembangkan diri, berinisiatif untuk memajukan diri, juga pribadi yang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang ambing dan pribadi yang mudah beradaptasi dengan segala era, sehingga dia tidak terombang-ambing dalam situasi yang tidak menentu.
“Manifestasi lain dari Islam wasatiy adalah pribadi yang inovatif yang selalu berorientasi pada kemaslahatan di segala aspek kehidupan. Kemudian akan menjadi muslim yang progresif yang cerah dan mencerahkan,” tutupnya. (dandi)