Kemenkumham Ingatkan Potensi Duplikasi Keanggotaan Parpol Jelang Pendaftaran Pemilu

Kemenkumham mencatat dari 75 parpol terdaftar, hanya 32 yang masih aktif.

ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
(Ilustrasi) Sejumlah penari membawa lambang partai politik saat pentas kesenian dalam rangka sosialisasi Pemilu 2019 di Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (21/4). Kegiatan yang digelar KPUD Indramayu dengan tema
Rep: Mimi Kartika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan, hal yang perlu menjadi perhatian menjelang pemilu ialah duplikasi keanggotaan partai politik (parpol). Bisa saja satu orang yang sama bisa terdaftar di sejumlah parpol berbeda.

"Saat ini mungkin yang harus diperhatikan karena integrasi juga belum berjalan dengan baik, kami sangat hati-hati sekali dengan duplikasi keanggotaan," ujar Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM Baroto dalam sosialisasi dukungan pendaftaran partai politik peserta Pemilu 2024 secara daring, Kamis (7/4/2022).

Dia mengatakan, upaya yang dilakukan pihaknya ialah dengan menyaring setiap permohonan. Setiap permohonan yang masuk harus dilampirkan dengan pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak sedang menjadi anggota parpol lain.

Kemudian, Kemenkumham juga akan mengecek ke parpol terkait. Mengenai hal ini, Baroto meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) hati-hati saat verifikasi pendaftaran partai politik peserta pemilu agar keanggotaan ganda tidak terjadi, mengingat banyaknya parpol di Indonesia.

Dampak dari multipartai memang berpotensi mudahnya anggota berpindah parpol. Akibatnya, satu nama yang sama bisa terdaftar di beberapa parpol.

Baroto mengatakan, saat ini terdapat 75 partai politik yang terdaftar sebagai badan hukum di Kemenkumham. Dari jumlah itu, hanya 32 partai yang aktif secara administratif, seperti melakukan perubahan kepengurusan.

"Ada yang melakukan mungkin kongres, munas, dan sebagainya yang kemudian disampaikan ke Kementerian Hukum dan HAM, yang lain tidak sama sekali," kata dia.

Sementara itu, hanya 33 parpol yang mempunyai Mahkamah Partai, lembaga ajudikasi untuk menyelesaikan perselisihan internal partai masing-masing. Padahal, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mewajibkan setiap parpol membentuk Mahkamah Partai.

"Kalau disandingkan dengan Undang-Undang, tentunya ada partai-partai yang tidak memenuhi syarat Undang-Undang. Belum lagi nanti persoalan konflik, karena memang di Undang-Undang sekarang, konflik partai harus diselesaikan oleh Mahkamah Partai terlebih dahulu. Ini yang menjadi persoalan," tutur Baroto.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler