Soal Pelaksanaan RUU TPKS, Kelompok Masyarakat Sipil Beri 5 Saran
RUU TPKS harus diperkuat dengan UU, sumber daya, dan kapasitas pendukung
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kelompok masyarakat sipil terdiri dari ICJR, IJRS dan Puskapa menyampaikan beberapa catatan pada substansi RUU Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Catatan ini dinilai penting untuk penguatan UU lainnya, sumber daya dan kapasitas untuk mendukung implementasi RUU TPKS.
Catatan pertama mengenai jaminan penguatan rumusan perkosaan dalam RKUHP. RUU TPKS memang tidak memuat perkosaan sebagai tindak pidana baru dalam RUU ini.
Namun, perkosaan dimuat sebagai jenis tindak pidana kekerasan seksual lain dalam RUU ini (Pasal 4 ayat (2)), sehingga korban perkosaan tetap menjadi subjek dari RUU ini.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, menilai penguatan perumusan RKUHP harus segera dilakukan.
Tujuannya agar ada jaminan rumusan RKUHP mengatasi permasalahan yang ada dalam rumusan perkosaan di KUHP, yaitu harus diatur gender netral, unsur paksaan menjangkau relasi kuasa/ kekerasan psikis, tidak hanya penetrasi penis-vagina dan tidak hanya dapat terjadi di luar perkawinan.
"Dalam RKUHP pasal perkosaan juga harus ditegaskan sebagai bentuk kekerasan seksual. Ini sesuai amanat Pasal 2 huruf j RUU TPKS untuk hukum acara dan penanganannya menjadi subjek RUU TPKS," kata Maidina di Jakarta, Jumat (8/4/2022).
Catatan kedua yaitu jaminan penegasan dalam RKUHP bahwa pemaksaan aborsi sebagai kekerasan seksual. Pemerintah dan DPR tidak memasukkan pemaksaan aborsi sebagai kekerasan seksual, dan tidak mendaftarkan pemaksaan aborsi sebagai jenis kekerasan seksual dalam UU Lain (dalam Pasal 4 ayat (2)).
Pemerintah dan DPR mendalilkan pengaturan ini ada dalam KUHP (Pasal 347) dan RKUHP (Pasal 469 ayat (2). "Maka dalam RKUHP nanti harus ditegaskan bahwa perbuatan ini sebagai sebagai bentuk kekerasan seksual," ujar Maidina.
Catatan ketiga menyoal jaminan sinkronisasi pengaturan soal pelecehan seksual fisik dengan eksploitasi seksual dalam RKUHP. Pengaturan eksploitasi seksual (Pasal 12 RUU TPKS) dengan 2 perbuatan pelecehan fisik, yaitu Pasal 6 huruf b dan huruf c.
Maidina menilai keduanya tumpang tindih, dengan miripnya pengaturan perbuatan tersebut, namun ancaman pidananya berbeda. "Hal ini memerlukan sinkronisasi, misalnya dalam RKUHP nantinya dapat memperbaiki rumusan Pasal 6 huruf b dan Pasal 6 buruf c RUU TPKS," ucap Maidina.
Keempat, jaminan sinkronisasi dengan Revisi UU ITE. Pemerintah dan DPR memasukkan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam Pasal 14 RUU TPKS, yang melarang perekaman, transmisi, dan penguntitan orang lain/ konten pribadi orang lain tanpa persetujuan.
Dengan demikian, rezim pengaturan tentang penyebaran konten pribadi harus didasarkan pada konsen/persetujuan. Ketika tidak dilakukan dengan dasar konsen/persetujuan maka orang tersebut dinyatakan sebagai korban, bukan pelaku.
"Dengan demikian, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berorientasi pada konten bukan konsen harus dihapuskan dalam revisi UU ITE. Sedangkan untuk pelarangan penyebaran konten kesusilaan yang dikehendaki sudah dijangkau dengan UU Pornografi, sehinga tidak ada lagi kepentingan mempertahankan Pasal 27 ayat (1) UU ITE," jelas Maidina.
Kelima, jaminan RKUHAP harus atur hakim pemeriksa pendahuluan untuk menilai kelayakan alat bukti perkara pidana. RUU TPKS dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c memperkenalkan aturan yang menyebutkan barang bukti dapat dijadikan alat bukti.
Maidina menyebut dalil yang disampaikan pemerintah atas masuknya rekomendasi adalah di banyak negara tidak memisahkan alat bukti (AB) dan barang bukti (BB).
Namun, di negara tersebut terdapat fungsi hakim magistrat atau hakim pemeriksa pendahuluan yang menguji terlebih dahulu relevansi barang bukti tersebut untuk dapat digunakan dalam perkara/tidak.
"Sedangkan fungsi itu belum dimiliki dalam konsep KUHAP saat ini. Sehingga ini menjadi urgensi dasar untuk segeranya pemerintah dan DPR melakukan pembahasan Revisi KUHAP," ujar Maidina.
Maidina mencontohkan dengan pasal ini maka barang bukti semisal pakaian pelapor saja bisa dapat dikatakan 2 AB. Dia khawatir tanpa pemeriksaan pendahuluan, hal ini membahayakan prinsip peradilan yang adil. "Karena orang akan mudah dipersalahkan dengan bukti yang minim," tegas Maidina.