Kemendag Pertimbangkan Harga Gula dari Petani Naik Jadi Rp 11.500 per Kg

Harga acuan gula di tingkat konsumen saat ini sebesar Rp 13.500 per kg.

Antara/Fauzan
Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar (ilustrasi).
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) bakal menaikkan harga acuan gula tebu di tingkat petani seiring adanya aspirasi dari para petani tebu. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan, mengatakan, pihaknya telah menerima berbagai usulan tentang besaran kenaikan harga acuan gula di petani. 

Baca Juga


Salah satu kajian dari Kementerian Pertanian (Kementan) yang mengusulkan harga naik menjadi Rp 11.500 per kg dari acuan resmi saat ini Rp 9.100 per kg. "Kemungkinan dari berbagai usulan yang ada kajiannya itu oleh Kementerian Pertanian," kata Oke saat ditemui di Pasar Cibinong, Bogor, Selasa (12/4/2022).

Adapun, untuk harga acuan gula di tingkat konsumen saat ini sebesar Rp 13.500 per kg, naik dari sebelumnya Rp 12.500 per kg. Kenaikan harga itu memang belum diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) namun melalui Surat Edaran (SE) Dirjen PDN Nomor 6 Tahun 2022.

Oke mengatakan, pemerintah memang melakukan relaksasi untuk menaikkan harga gula di konsumen dan telah berlaku khususnya di toko ritel modern. Khusus di wilayah Indonesia Timur, Kemendag bahkan mengizinkan agar harga jual menjadi Rp 14.500 per kg.

Adapun relaksasi dilakukan karena harga gula dunia yang dalam tren kenaikan. Seperti diketahui, kebutuhan gula nasional masih ditopang oleh pasokan impor karena produksi lokal belum mampu memenuhi.

Oke pun menegaskan, jika nantinya harga acuan gula di petani resmi dinaikkan, harga acuan di konsumen tidak akan naik. Ia pun menilai, dengan usulan harga gula di petani sebesar Rp 11.500 per kg, harga di konsumen sebesar Rp 13.500 per kg masih bisa diterapkan. "Masuk lah, masih masuk (harganya)," kata Oke.

Soal pasokan, Kemendag pun memastikan tidak ada kelangkaan untuk saat ini. Pemerintah juga akan berhati-hati dalam memasukkan pasokan impor. Pasalnya, menjelang pertengahan tahun merupakan momen musim giling tebu di dalam negeri sehingga pasokan gula tebu petani akan melimpah.

Dikhawatirkan, jika musim giling tebu dimulai dan pasokan impor digelontorkan, akan menekan harga gula lokal dan merugikan petani. "Impor gula saat ini pun tidak membantu karena biaya logistiknya yang sudah (naik) empat kali lipat," ujar dia.

Berdasarkan informasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), musim giling tahun 2022 akan dimulai pada April untuk wilayah Sumatera, Mei di wilayah Jawa, serta Juni untuk wilayah Sulawesi dan wilayah lainnya.

APTRI pada akhir Mare lalu telah menemui jajaran Kemendag untuk menyampaikan aspirasi mengenai kenaikan harga acuan di tingkat petani. Adapun, APTRI mengusulkan agar segera menaikkan besaran harga pokok pembelian (HPP) gula petani menjadi Rp 12.000 per kilogram (kg) dari HPP saat ini sebesar Rp 9.100 per kg.

Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen, mengatakan, HPP saat ini sudah merugikan petani karena jauh di bawah biaya produksi gula tebu yang kini sudah mencapai Rp 11 ribu per kg."HPP gula tani sebesar Rp 9.100 sudah enam tahun tidak naik dan ini sangat merugikan petani," kata Soemitro.

Tingginya biaya produksi tersebut terjadi mengingat adanya kenaikan ongkos pengolahan lahan, upah tenaga kerja, tebang angkut, biaya irigasi, pestisida hingga beban biaya pupuk. Sebab, selama ini petani tebu juga menggunakan pupuk non subsidi seiring pembatasan jatah pupuk subsidi.

Padahal, kata Soemitro, HPP gula petani idealnya harus di atas biaya produksi agar petani tebu tetap bisa merasakan keuntungan.

Ia menilai, usulan HPP gula petani sebesar Rp 12.000 per kilogram tersebut dianggap masih wajar agar petani mendapatkan keuntungan yang memadai dari usaha tani tebu selama satu tahun. HPP tersebut juga dianggap tidak memberatkan konsumen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler