Cita-Cita Kota tanpa Emisi, Apakah Realistis?
Kota besar bisa menjadi pembunuh iklim nomor satu karena menghasilkan emisi tinggi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota industri yang giat memproduksi gas rumah kaca harus dikembangkan menjadi ekosistem niremisi yang ramah kehidupan. Tanpa transformasi tersebut, episentrum peradaban manusia ini bakal kewalahan melawan bencana iklim.
Diperkirakan sekitar 85 persen populasi Bumi akan hidup di kota-kota besar pada 2100. Kelak, sebagian besar kota di dunia bakal menampung rata-rata 10 juta penduduk. Dengan laju pemborosan emisi yang tinggi, kota-kota ini nantinya akan menjadi pembunuh iklim nomor satu.
Saat ini saja, kota di dunia bertanggung jawab atas sekitar 75 persen emisi CO2 di dunia. Maraknya penggunaan beton dan besi yang padat emisi, serta minyak dan gas untuk kebutuhan energi, menempatkan kota sebagai medan terdepan dalam perang melawan krisis iklim.
Laporan teranyar Panel Iklim PBB menggarisbawahi peran kawasan urban sebagai sumber emisi. Gas rumah kaca yang diproduksi selama proses konstruksi dan untuk keperluan operasional, tercatat meningkat sebanyak 50 persen sejak 1990.
Artinya, kedua sektor tersebut harus mempercepat proses dekarbonisasi jika ingin menepati komitmen iklim sesuai Perjanjian Paris 2015. Hingga 2050, dunia internasional ingin membatasi kenaikan suhu Bumi menjadi sebatas 1,5 derajat Celsius di atas temperatur rata-rata tahun 1990.
Sejatinya, emisi urban bisa dipangkas hampir mendekati nol pada 2050 jika semua kota di Bumi digerakkan oleh energi terbarukan atau dipenuhi bangunan hemat energi. Terlebih, konsep kota hijau mampu menyerap CO2 dan membantu memerangi pemanasan kawasan urban.
Pakar IPCC optimistis, karena hampir 60 persen bangunan yang akan memenuhi kota-kota dunia pada 2050 masih belum dibangun. Artinya, jika dekarbonisasi dan penghematan emisi bisa diwujudkan secara dini, umat manusia berpeluang menyelamatkan iklim Bumi.
Mitigasi iklim melalui transformasi kota padat dan rapat
Kota bisa menjadi mikrokosmos mitigasi iklim yang berhasil, kata Rogier Vandenberg, Direktur Ross Center for Sustainable Cities, sebuah lembaga penelitian yang tergabung dalam jejaring World Ressources Institute di Amerika Serikat.
"Peluang besar terdapat pada kota karena penumpukan populasi yang besar. Artinya Anda bisa menjalankan dekarbonisasi dalam skala besar,” kata dia.
"Solusinya ada pada kota.”
Tantangan terbesar terletak pada transformasi menuju kota padat dan rapat, serta mengurangi kebutuhan terhadap kendaraan bermotor. Sasarannya adalah untuk mendesain kota, di mana warga bisa menjangkau semua keperluannya dalam waktu 15 menit dengan sepeda atau berjalan kaki.
Sejumlah kota bereksperimen saat pandemi COVID-19 dengan memperluas ruang bagi pejalan kaki dan pesepeda, serta merapatkan pemukiman dengan pusat perbelanjaan. Melbourne di Australia mengusung konsep komunitas 20 menit, sementara Paris mendeklarasikan ingin menjadi kota 15 menit.
"Kita sudah tahu sejak berdekade lalu bahwa kota akan menjadi lebih baik, lebih bersih, lebih berkelanjutan, dan lebih menguntungkan jika semua layanan dan kebutuhan hidup berada di dekat pemukiman penduduk,” kata Vandenberg.
Visi urban masa depan
Namun, hal ini membutuhkan perencanaan tata kota vertikal yang sekaligus mengurangi ekspansi horizontal. "Anda harus menggunakan pola pikir baru dalam merencanakan kota,” imbuhnya.
Warga di kota berpenghasilan rendah saat ini menghabiskan 35 persen pendapatannya untuk transportasi. Masalah ini berakar pada meluasnya area urban untuk menyiasati harga tanah yang semakin mahal.
Kota-kota yang ingin mencapai target niremisi pada 2050, harus mengupayakan elektrifikasi angkutan umum dan memperkuat manajemen digital untuk menyelaraskan jadwal bus dengan kebutuhan penumpang demi mengurangi pemborosan. Namun, kendati sektor transportasi rata-rata menyumbang 20 persen pada emisi kota, Vandenberg mengatakan bangunan masih menjadi sumber kerusakan terbesar karena memproduksi emisi tiga kali lipat lebih besar.
Menurutnya, industri properti harus mau digerakkan untuk berinvestasi pada bangunan rendah emisi dan ikut mendorong sektor lain meningkatkan efisiensi energi. Hal ini mencakup standar universal untuk bangunan berkelanjutan yang membuka pintu bagi investor untuk menghijaukan portfolionya.
Pendeknya, kota diminta lebih ambisius mewujudkan proyek ramah lingkungan. "Menggerakkan kota kami dengan energi berkelanjutan adalah pondasi bagi ekonomi niremisi,” kata Eric Garcetti, Wali Kota Los Angeles dan Ketua C40, kelompok 40 kota di dunia yang menargetkan dekarbonisasi pada 2050.
Saat ini, porsi energi terbarukan di kota Los Angeles sudah mencapai 40 persen dan akan digandakan menjadi 80 persen pada 2030. "Kota bisa berkembang lebih jauh dan lebih cepat ketimbang satu negara,” kata Matthwe Baldwin, Direktur Proyek 100 Kota Netral Emisi di Uni Eropa.
sumber: https://www.dw.com/id/seberapa-realistis-kota-tanpa-emisi/a-61450153