Manfaat Diet Puasa Intermiten tak Signifikan, Pakar Ada yang tidak Setuju
Puasa Intermitten disebut cara terbaik untuk turunkan berat badan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa intermiten menjadi kata kunci diet dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang mempromosikan pola diet dengan sistem membatasi jam makan tersebut.
Diet ini membatasi waktu makan sekitar enam jam dalam sehari. Pola diet ini juga menyarankan berpuasa selama sisa 14 jam dengan tujuan menurunkan berat badan.
Gagasan tersebut didasarkan pada istilah bahwa membatasi jam-jam makan pada waktu yang sama, ritme sirkadian manusia menjadi stabil, sehingga dapat meningkatkan metabolisme. Studi kali ini pun mencoba melihat apakah anggapan itu benar adanya?
Sebuah studi baru menemukan bahwa diet terbatas waktu "tidak lebih bermanfaat" untuk menurunkan berat badan (BB) daripada pembatasan kalori saja. Artinya, manfaat diet ini tidak terlalu signifikan.
Penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine itu, meneliti 139 orang dengan obesitas saat mereka menjalani diet pembatasan kalori selama setahun penuh. Semua wanita dalam penelitian ini makan antara 1.200 dan 1.500 kalori per hari, sementara pria mengonsumsi 1.500 hingga 1.800.
Kelompok pertama diizinkan untuk mengonsumsi kalori tersebut kapan saja sepanjang hari, sementara yang lain hanya bisa makan antara jam delapan pagi dan empat sore. Para peneliti dari Southern Medical University di Guangzhou, China, menemukan bahwa tidak ada perbedaan hasil dari masing-masing kelompok.
Baik orang yang dibatasi waktu makan maupun yang kehilangan berat badan, sekitar 14 hingga 18 lbs atau sekitar 6,3 kilogram. Hal itu dilihat dari lemak tubuh dan massa tubuh tanpa lemak hingga lingkar pinggang. Puasa intermiten juga tidak mengarah pada perbaikan faktor kesehatan yang berhubungan dengan berat badan seperti kadar glukosa darah, tekanan darah atau insulin.
Dalam uji coba 12 bulan ini, peneliti menemukan bahwa rejimen makan dengan pembatasan waktu delapan jam tidak menghasilkan penurunan berat badan yang lebih besar daripada rejimen pembatasan kalori harian, dengan kedua rejimen tersebut menghasilkan defisit kalori serupa.
“Di antara pasien dengan obesitas, rejimen makan yang dibatasi waktu tidak lebih bermanfaat berkaitan dengan pengurangan berat badan, lemak tubuh, atau faktor risiko metabolik daripada pembatasan kalori harian,” tulis para peneliti.
Tidak Sepakat
Dr Ethan Weiss, seorang peneliti diet di University of California, San Francisco, termasuk yang percaya bahwa puasa intermiten efektif. Dia juga memeriksa pola makan orang selama tujuh tahun terakhir. Weiss pun tidak sepakat dengan studi baru dan meminta para peneliti untuk menganalisis ulang data setidaknya sebanyak empat kali. Kepada The New York Times, dia meminta studi baru itu ditinjau lebih lanjut.
"Saya adalah seorang yang percaya (diet intermiten) ini adalah hal yang sulit untuk diterima,” kata dia.
Sedangkan para peneliti studi baru menyatakan bahwa penelitian mereka memang memiliki keterbatasan. Karena mereka tidak melihat berapa banyak kalori yang dibakar para peserta studi dalam setiap harinya, temuan itu mungkin tidak berlaku untuk orang-orang dari demografi lain.
Mereka juga menunjukkan bahwa jika puasa intermiten tidak memberikan manfaat tambahan, orang-orang yang mengikuti rencana tersebut masih kehilangan berat badan. Temuan mereka menunjukkan bahwa rejimen makan yang dibatasi waktu bekerja sebagai pilihan alternatif untuk manajemen berat badan.