Pesan Nabi Muhammad Saat Islam Disyiarkan ke Syam
Nabi Muhammad memberikan pesan saat Islam disyiarkan ke Syam.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Syariat Islam melalui Nabi Muhammad telah menyepakati kelompok yang tidak boleh diserang atau dibunuh ketika perang. Peringatan ini disampaikan Rasulullah ketika mengutus 3 ribu pasukan yang dipimpin Zaid bin Haritsa, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawaha melakukan ekpansi ajaran Islam ke wilayah Syam.
"(Nabi) Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon," tulis Husen Haikal dalam bukunya Sejarah Muhammad.
Nabi Muhammad mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata:
"Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat."
Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Syam secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan.
"Mereka berangkat sampai di Ma’an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana," katanya.
Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya. Pasukan tentara yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan pula.
Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma’ab di bilangan Balqa’, terdiri dan seratus ribu orang Rumawi, ditambah dengan seratus ribu lagi dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra’ dan Bali. Dikatakan juga bahwa Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.
Ketika pihak Muslimin berada di Ma’an, adanya kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar.
Salah seorang dari mereka ada yang berkata: Kita menulis surat kepada Rasulullah SAW dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus.
Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah ibn Rawaha, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata: “Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid.”
Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: Ibn Rawaha memang benar! Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqa’, di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Rumawi dan Arab.
Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu’ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif. Di Mu’ta inilah pertempuran sengit, antara seratus atau duaratus ribu tentara Heraklius dengan tiga ribu tentara Muslimin - mulai berkobar.
Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid bin Haritsah dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati disini berarti syahid di jalan Allah.
Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan disinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh. Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja’far bin Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru tigapuluh tiga tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja’far terus bertempur dengan membawa bendera itu.
Bilamana kudanya oleh musuh dikepung, diterobosnya kuda itu dan ditetaknya, dan dia sendiri terjun ke tengah-tengah musuh, menyerbu dengan mengayunkan pedangnya ke leher siapa saja yang kena. Bendera waktu itu dipegang di tangan kanan Ja’far; ketika tangan ini terputus, dipegangnya dengan tangan kirinya dan bila tangan kiri ini pun terputus, dipeluknya bendera itu dengan kedua pangkal lengannya sampai ia syahid. Konon katanya yang menghantamnya orang dari Rumawi dengan sekaligus hingga ia terbelah dua.
Setelah Ja’far meninggal bendera diambil oleh Abdullah ibn Rawaha. Dia maju dengan kudanya membawa bendera itu dan akhirnya Abdullah juga syahid.