Naskah Khutbah Lengkap Sholat Idul Fitri di JIS Oleh KH Cholil Nafis

KH Cholil Nafis mengisi khutbah Idul Fitri di JIS.

Fuji EP / Republika
Naskah Khutbah Lengkap Sholat Idul Fitri di JIS Oleh KH Cholil Nafis. Foto: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis, menjadi khatib dalam Sholat Idul Fitri 1443 Hijriyah di Jakarta Internasional Stadium (JIS). Senin (2/5/2022)
Rep: Muhyiddin Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menjadi khatib Sholat Idul Fitri yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Jakarta International Stadium (JIS), Senin (2/5). Kiai Cholil menyampaikan khutbah bertema "Spirit Fitrah untuk Membangun Kesalehan".

Berikut isi khutbah yang akan disampaikan Kiai Cholil, seperti yang diterima Republika pada Senin (2/5).

Allahu akbar 3 X Walillahi al hamdu

jama’ah Idul Fitri yang berbahagia.

Di pagi hari nan cerah, dalam suasana yang khidmat dan penuh makna di tengah nuansa kebahagiaan dan kegembiraan di hari kemenangan umat Islam, maka  kita merayakan Idul Fitri. Sungguh senang kita, sebab sudah dua tahun tak memeriahkan lebaran dengan berkumpul berama karena hantaman wabah Covid-19. Walhamdulillah kita bersyukur telah lulus melatih diri dalam madrasah kemanusiaan (madrasah insaniyah) selama bulan Ramadhan dan menang hingga lulus melewati ujian “jihad akbar”, perang melawan hawa nafsu. Kita, kaum muslimin, disunnahkan (dianjurkan) di manapun berada untuk mengagungkan nama Allah, memperbanyak takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih atas hidayah Allah SWT,  sebagai ungkapan rasa syukur kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan dalam firman-Nya:

 وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

Artinya: “Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah/2: 185)

Allahu akabar 3X Walillahi al hamdu

Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah

Baca Juga



Selayaknya kita semua bersyukur kepada Allah SWT atas ma’unah-Nya sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan sempurna dan berlebaran dengan meriah. Walhamdulillah pagi ini, kita dapat merayakan dan shalat Idil Fitri di Jakarta International Stadium (JIS) yang megah nan indah yang menjadi kebanggaan masyarakat Jakarta dan Indonesia. Kita bisa ramai-ramai ibadah berjamaah yang sekaligus mengumandang syi’ar Islam di hari yang fitri. 

Tak perlu memperdebatkan manakah yang lebih utama, apakah shalat Idil fitri di masjid atau di lapangan? Tentu ulama berbeda pendapat dengan alasannya masing-masing. Imam Syafi’i misalnya, menyebutkan bahwa Shalat Idil Fitri di Masjid lebih utama jika masjidnya luas dan menampung banyak orang. 

Namun, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menarik kesimpulan dari pernyataan tersebut bahwa illat (alasan hukum) apakah shalat di lapangan atau di masjid yang lebih utama adalah pada sejauhmana ia sanggup menjadi tempat masyarakat berkumpul. (Fathul Bâri, jilid 5, h. 283)

Faktanya, kita berlebaran dan shalat Idil Fitri ada yang melaksanakan di Masjid dan ada pula yang di lapangan. Artinya, kedua pendapat itu sama-sama kita laksanakan sehingga hal itu di Indonesia  tidak menjadi perdebatan. Bahkan dengan sebagian kita melaksanaan Ibadah shalat Idul Fitri di lapangan dapat meluaskan syi’ar Islam sekaligus memfasilitasi para perempuan yang berhalang masuk ke masjid sehingga bisa keluar rumah bersama-sama untuk memeriahkan lebaran, siraman rohani, dan menggaungkan syi’ar Islam.

Sebagaimana hadits Rasulullah saw dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata:

عن أم عَطيَّة نُسَيْبة الأنصارية -رضي الله عنها- قالت: «أَمَرَنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نُخْرِج في العيدين الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وأَمَر الحُيَّض أن يَعْتَزِلْنَ مُصلّى المسلمين». 

Rasulullah saw. memerintah kami membawa keluar gadis-gadis remaja dan wanita-wanita yang dipingit di dua hari raya, dan beliau memerintah wanita-wanita yang sedang haid menjauhi tempat salat kaum Muslimin." [HR. al-Bukhari].

Syi’ar Islam menjadi penting sebab itu bertalian dengan takwa. Ahli tafsir Zamahsyari dan Ibn `Asyur, memahami takwa sebagai mabda' atau pangkal tolak kegiatan syi’ar. Bagi Al-Alusi, takwa selain sebagai  mabda' juga sebagai ta`lil, yakni alasan perlunya syiar. Ini berarti, syiar Islam tak boleh dilihat dari sisi simboliknya semata, tetapi pada makna profetiknya yang inspiratif dan transformatif. Dalam arti, lahir dari semangat takwa untuk menggerakkan manusia mencapai derajat takwa.

Allahu akabar 3X Walillahi al hamdu

Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah

Sungguh sebuah metafora yang menarik untuk kita renungkan. Allah SWT seolah-olah hendak menyatakan bahwa manusia yang suci dan bersih, manusia yang baik dan berguna, manusia yang menang dan bahagia, itu adalah mereka yang mau dan mampu melihat problema masyarakat secara cermat dan bijak, dan kemudian bersedia memecahkannya. Mereka mampu menjadi lentera di kala gelap dan menjadi payung berteduh di saat panas. Mereka inilah penganut agama yang benar, agama yang hanifiyah was samhah, terbuka dan lapang, toleran dan pemaaf, damai dan santun. Inilah agama tauhid, agama Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw.

Seorang yang merayakan Idul Fitri  adalah orang yang mampu mengembalikan fitrahnya, yang ditunjukkan dengan banyak berbuat baik kepada khalayak. Makin banyak memberi manfaat kepada orang banyak maka makin tampak kesejatian diri yang fitri. Perbuatan baik akan menimbulkan etika dan menciptakan tatanan kehidupan yang tertib dan harmonis. Sementara, kebenaran akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang akan mengantarkan kemajuan peradaban umat manusia. 

Acapkali, fitrah manusia dapat berubah dari waktu ke waktu. Berubah karena pergaulan, karena pengaruh budaya dan lingkungan, karena latar belakang pendidikan dan lain-lain. Maka, agar fitrah itu tetap terpelihara kesuciannya, hendaknya ia selalu mengacu pada pola kehidupan islami yang berlandaskan Alquran dan as-Sunnah. Pola kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai agama dan akhlakul karimah serta melatih diri dengan berpuasa sunnah. 

Dari latihan Ramadhan, kita diharapkan mampu membangun manusia seutuhnya, insan kamil yang memiliki keteguhan iman, keluasan ilmu pengetahuan, serta cakap dalam menyikapi dan menjawab berbagai peluang dan dinamika kehidupan. Karena itu, segala kebiasaan baik yang telah kita lakukan di bulan suci Ramadhan berupa ibadah puasa, qiyamullail, tilawah, dan tadarus Alquran, menyantuni fakir miskin dan yatim piatu, mengendalikan amarah dan hawa nafsu hendaknya tetap kita lestarikan. Dan bahkan, kita tingkatkan sedemikian rupa agar menjadi tradisi baik dalam diri, keluarga, dan lingkungan masyarakat kita. Sehingga fitrah yang telah kita raih di hari yang agung ini tetap terpelihara dan memancar menjadi kesalehan individu  dan sekaligus kesalehan sosial.

Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menggambarkan penghuni kehidupan dunia laksana seorang pelaut yang sedang mengarungi samudera, satu tarikan nafas bagaikan satu rengkuhan dayung, cepat atau lambat biduk yang ditumpangi akan mengantarkannya ke pantai tujuan. Dalam proses perjalanan itu, setiap nahkoda berada di antara dua keresahan: antara mengingat perjalanan yang sudah dilewati dengan rintangan gelombang yang dahsyat atau menatap sisa-sisa perjalanan yang masih panjang dimana ujung rimbanya belum tentu mencapai keselamatan.

 

Gambaran kehidupan ini hendak mengingatkan agar kita senantiasa memanfaatkan umur yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Usia yang masih kita punyai akan menghadapi tantangan zaman dan selera kehidupan yang menggoda maka haruslah kita pergunakan secara optimal untuk memperbanyak berbuat baik guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Suatu saat, Lukmanul Hakim pernah memberikan taushiyah kepada putranya.

يَا بُنَيَّ !! إِنَّ الدُّنْياَ بَحْرٌ عَمِيْقٌ وَقَدْ غَرِقَ فِيْهَا أُنَاسٌ كَثِيْرٌ فَاجْعَلْ سَفِيْنَتَكَ فِيْهَا تَقْوَى اللهِ وَحَشْوَهَا اْلإِيْمَانُ وَشِرَاعَهَا التَّوَكُّلُ عَلىَ اللهِ لَعَلَّكَ تَنْجُو

 “Wahai anakku, sesungguhnya dunia ini laksana lautan yang dalam dan telah banyak manusia tenggelam di dalamnya, jadikanlah taqwa kepada Allah SWT sebagai kapal untuk mengarunginya, iman sebagai muatannya, tawakal sebagai layarnya, niscaya Engkau akan selamat sampai tujuan”.

Allahu akabar 3X Walillahi al hamdu

Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah

Implementasi kefitrahan kita tidak cukup hanya menjadi saleh secara individu, tetapi juga  harus saleh secara sosial. Artinya, seseorang akan lebih baik jika ia banyak menebarkan kebaikan kepada orang banyak. Sebab, hidup ini akan dituntut oleh Allah SWT dengan dua hal, yaitu apa karya yang dipersembahkan dan jasanya yang ditinggalkan (ma qaddamu wa atsarahum). Hidup ini hanya melewati waktu yang akan dicatat apakah tindakannya menjadi torehan sejarah yang monumental atau hal sia-sia yang dibuang. 

Untuk menjadi orang yang berguna kepada orang banyak, kita harus melepaskan sikap individualisme dan harus punya kepekaan sosial. Rasulullah saw. menggambarkan solidaritas manusia beriman bagaikan satu fisik (kaljasadi al-wahid) yang diimplementasikan dengan saling merasakan. Kemudian, diaplikasikan dengan saling menguatkan yang diilustrasikan bagaikan satu bangunan (kalbunyani al-wahid). Artinya, implementasi taqwa yang kita raih melalui traning Ramadhan harus diimplementasi pada sebelas bulan berikutnya dengan merasakan penderitaan saudara-saudara kita dan saling menguatkan dengan mengorbankan segala kemampuannya untuk kepentingan masyarakat. 

Dalam konteks kebangsaan, ketaqwaan yang kita rayakan di hari yang fitri ini harus merefleksikan rasa apa yang dirasakan oleh orang-orang yang kurang beruntung dan menguatkan mereka agar bangkit dan maju. Dalam kontek bangsa Indonesia yang masih banyak yang berada pada tingkat kemiskinan maka patut kita memberi perhatian dan bantuan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penduduk miskin di Indonesia per September 2021 mencapai 26,5 juta orang atau 9,71 persen. Bahkan menurut prediksi  Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen atau setara 29,3 juta penduduk.  Artinya, kefitrahan kita harus tergugugah untuk mengentaskan kemiskinan, baik dilakukan secara individu seperti zakat, infaq, dan sadekah atau secara kolektif melalui kebijakan negara yang berpihak kepada kaun miskin dan dhu’afa. 

Di sinilah kita wajib mengimplemesikan fitrah kita dalam bingkai ukhuwah. Kiranya patut kita merevitalisasi  konsep “trilogi ukhuwah” yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Konsep trilogi ukhuwah adalah menyatukan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).

Ukhuwah Islamiyah, adalah persaudaraan sesama pemeluk agama Islam, baik dalam bingkai kenegaraan atau bingkai keumatan. Inilah modal umat Islam dalam melakukan interaksi sosial sesama muslim. Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan untuk membangun persatuan antar anak bangsa dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah modal dasar untuk melakukan pergaulan sosial dan dialog dengan pelbagai komponen bangsa Indonesia yang majmuk, tentu saja tidak terbatas pada satu agama semata.  Sementara, ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang paling mendasar sebagai manusia yang lahir dari bapak dan ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ini  prinsip dan landasan untuk membangun persaudaraan manakala ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah wathaniyah tak lagi mengikat dengan kuat.

Allahu akbar 3X Walillahi al hamdu

Kaum muslimin wal muslimat rahimakumullah.

Pada hari kemenangan kita dalam mengikat hawa nafsu untuk mencapai ketaqwaan melalui ibadah puasa, marilah  kita tunjukkan indikator keberhasilan dalam meraih ketakwaan. Kita tunjukkan kesejatian diri yang “fitri” yang senantiasa menebarkan cinta kasih, persaudaraan, kebersamaan, dan mampu memaafkan orang lain. Fitrah yang sesungguhnya adalah ketika taqwanya bertambah, berarti peran serta kemanusiaan lebih baik, amal salehnya meningkat, baik kesalehan individu maupun kasalehan sosial. Jadi, kembali ke fitrah berarti kembali mendengarkan suara hati yang paling dalam yang sudah kita jernihkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Bersikap fitrah adalah berorientasi pada pemenangan “ruh ilahi”  atas tanah “Lumpur” bumi.   Semoga Allah SWT menuntun dan membimbing kita untuk selalu menjaga jiwa kita agar tetap bertaqwa dan berjalan pada fitrahnya. Amin.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler