Belajar dari Jusuf Hamka, Sjaiful H.Naumin Hingga Houtman Zainal Arifin

Belakangan sosok pengusaha kaya yang tampil sederhana ini banyak diulas dan di-repost

.
Rep: saman saefudin Red: Retizen
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/penguasaha-mualaf-muhammad-jusuf-hamma-_180214101629-924.jpg

Siapa tak mengenal Jusuf Hamka? Sosok pengusaha keturunan Tionghoa “bos jalan tol”, yang memutuskan menjadi mualaf sejak usia 24 tahun di bawah bimbingan langsung ulama kharismatik Buya Hamka. Bahkan ia didapuk menjadi anak angkat ulama asal Sumatra Barat itu, sehingga nama Hamka pun ikut disematkan menjadi nama belakangnya setelah memeluk Islam.


Nah, belakangan sosok pengusaha kaya yang tampil sederhana ini banyak diulas dan di-repost banyak netizen di tanah air, mulai outfitnya yang hanya berharga ratusan ribu, kebiasaan makan di warung pinggir jalan, potong rambut di tempat sederhana. Potongan ceramah dan wawancaranya, sering viral di media sosial. Sosok Jusuf Hamka seolah menjadi antitesa atas tingkat laku sebagian crazy rich Indonesia yang hobinya flexing. Bahwa ternyata ada orang yang memilih hidup sederhana meski bergelimang harta. Sebagian netizen bahkan menjulukinya dengan The Real Sultan.

Tetapi cerita Jusuf Hamka tak berhenti pada masalah kesederhanaan, lebih dari itu juga soal semangat kedermawanannya yang tinggi. Ia sempat dikenal karena menyediakan menu buka puasa gratis dengan menu cukup mewah selama ramadan, sejak 2011 silam. Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 1.000 porsi.

Dan yang cukup legend adalah saat Babah Alun, demikian sapaan karib lainnya, membuka warung nasi kuning Podjok Halal. Ia menjual nasi kuning Rp 3.000 per porsi sepuasnya, untuk membantu orang-orang dhuafa. Saat ini, gerai nasi kuningnya bahkan sudah mulai buka cabang di beberapa tempat, termasuk Semarang.

Bagi anak-anak milenial yang mungkin sedikit muak dengan ungkapan “Wow, murah benget!” dari crazy rich, sosok Jusuf Hamka seolah menjadi penawarnya. Seorang konglomerat yang tetap membumi, dan lagi gemar berbagi. Ia bahkan memiliki impian membangun 1.000 masjid sebagai wujud syukurnya atas apa yang telah Tuhan berikan untuknya.

Pertanyaannya, kenapa setelah kesuksesan dan kekayaan direngkuhnya, ia masih mau memikirkan dan mengurusi orang lain yang tak mampu? Kenapa Jusuf Hamka tidak memilih menikmati kesuksesannya, kasarnya dipuas-puasin.

Dari beberapa ulasan dan wawancara terhadap Babah Alun, maka setidaknya ada dua hal yang sering ia sebutkan terkait dengan semangat berbaginya itu. Dan kedua hal ini bisa jadi saling beririsan, yakni kebermanfaatan (berkah) dan bahagia. Bahwa setelah sukses, Jusuf ingin agar diri dan kekayaannya juga memberikan manfaat yang besar untuk orang banyak.

Soal nasi kuning misalnya, kenapa dijual Rp 3 ribu, dia tersirat Jusuf menganggapnya sebagai matematika Tuhan.

“Saya melayani seorang tukang parkir. Setelah dia makan, dia bayar tiga ribu. Dua menit atau lima menit kemudian, dia nenteng seorang kakek-kakek tua, seorang pengemis. Dia bayar tiga ribu, saya mau sedekah untuk si bapak. Oooh, ini rahasia Allah, yang bersedekah bukan hanya saya, dia juga bisa ikut bersedekah buat orang yang di bawahnya dia (lebih miskin). Kalau dia makan biasa 10 ribu, tapi dia bayar 3 ribu, berarti ada 7 ribu. Dia bisa sedekah 3 ribu lagi, masih sisa 4 ribu. Jadi, bukan hanya bisnis yang tidak boleh dimonopoli, tapi sedekah juga tidak boleh dimonopoli. Jadi pahala dan berkahnya dapat semua. Ini juga saya baru menemukan (konsep) ini .”

Ada multyplier effect dari nasi kuning 3 ribu, kemanfaatannya menjadi berlipat. Bukankah ini mirip dengan konsep berkah, sebuah kebaikan (manfaat) yang bertambah dan bertumbuh.

Poin pertama dari Jusuf Hamka, kita telah belajar tentang bagaimana komitmen berbagi saat kita kaya atau berlebih. Bahkan, sedekah sebaiknya jangan dimonopoli, surga jangan dikapling sendiri. Karena faktanya, orang-orang dhuafa justru seringkali mempertontonkan pemandangan yang jauh lebih indah dan alami dalam berbagi.

Tetapi bagi orang-orang kaya yang juga dermawan, dari mana dorongan itu berasal? Bukankah tidak sedikit orang-orang kaya yang justru kikir dan gemar menumpuk harta? Atau, apa yang menjadi raison d’etre –nya?

Nah, soal konsep ini, mungkin kita perlu belajar juga dari dua sosok inspiratif lainnya, yakni Sjaiful Hamdi Naumin dan Houtman Zaenal Arifin. Keduanya adalah tokoh penghidmat yatim dan dhuafa yang luar biasa. Yang pertama, Sjaiful Hamdi Naumin, di usia 30 an tahun telah menduduki posisi Corporate Secretary Olympic Group, sebuah perusahaan furniture yang cukup bonafit di era 1990 an. Di usia itu pula dia telah mendirikan Pondok Penyantunan Yatamasakin untuk menghidupi puluhan anak-anak yatim dan dhuafa, mendidik mereka agar terangkat dari rantai kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Puluhan anak-anak tak mampu dari berbagai daerah di Indonesia ini disiapkan agar terbebas dari mental inferior yang lazim menghinggapi anak-anak miskin.

Sementara Houtmen Zainal Arifin adalah sosok inspiratif yang mungkin memecahkan rekor jenjang karir di Indonesia. Bagaimana tidak, dia masuk ke sebuah bank asing terbesar di Indonesia saat itu, Citibank, sebagai pegawai rendahan setingkat office boy. Tetapi ketekunan dan semangat belajar yang tinggi kelak menempatkan dirinya menduduki jabatan direksi tertinggi di Citibank Indonesia, yakni menjadi Vice President. Karena jabatan President tentu saja hanya ada di Citibank pusat di Amerika Serikat.

Yang menarik, setelah sukses menjadi top executive sebuah perusahaan bonafit, Houtman mencurahkan banyak waktu, tenaga, pikiran dan kekayaannya untuk membantu anak-anak yang kurang beruntung. Dia mencari anak-anak marginal; yang jelas miskin, yatim, kadang anak terbuang ataupun terlantar, bahkan ada juga yang berkebutuhan khusus. Hebatnya lagi, Houtman tidak membangunkan rumah yatim atau rumah miskin, melainkan anak-anak dhuafa ini justru langsung dalam pengasuhannya, tinggal seatap serumah. Setiap hari dia rawat sendiri anak-anak itu secara langsung.

Baik Sjaiful maupun Houtman, keduanya memiliki banyak kesamaan kondisi dan kualitas. Mereka sama-sama memiliki masa lalu yang lekat dengan kemiskinan dan payahnya hidup. Kesuksesan mereka dapatkan melalui perjuangan yang panjang, tak terkecuali harga diri yang kadang terciderai. Tidak hanya lekat dan dekat dengan anak-anak miskin lainnya, baik Sjaiful maupun Houtman sama-sama belajar banyak dari kawan-kawan senasibnya dulu, bahwa kemiskinan materi dan sumber daya tidak harus memiskinkan hati mereka dari kepedulian dan solidaritas kemanusiaan. Maka ketika akhirnya sukses, Sjaiful Hamdi Naumin telah sejak muda merawat komitmennya memperjuangkan anak-anak yatim dan dhuafa. Pun dengan Houtman yang juga mendedikasikan hidupnya untuk memuliakan anak-anak tak beruntung. (bersambung)

sumber : https://retizen.id/posts/124440/belajar-dari-jusuf-hamka-sjaiful-h-naumin-hingga-houtman-zainal-arifin
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler