'Presidential Threshold Telah Menyimpang dari Sistem Presidensial di Indonesia'

Presidential threshold membatasi peluang capres yang lebih diharapkan masyarakat.

ANTARA/Sigid Kurniawan/tom.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi para hakim anggota memimpin jalannya sidang putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/4/2022). Presidential threshold telah berkali-kali digugat namun selalu ditolak oleh MK. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Rizky Suryarandika, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga


Ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold berdasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR dinilai menyimpang dari prinsip presidensialisme. Pakar politik Saiful Mujani menjelaskan, dalam sistem presidensial yang sebenarnya, tidak ada hubungan antara hasil pemilu legislatif dan syarat pencalonan presiden.

"Sehingga seharusnya ada lebih banyak figur yang bisa masuk dalam pemilihan presiden," kata Saiful dalam keterangan persnya, Jumat (13/5/2022).

Saiful mencontohkan, pada pemilihan presiden di Prancis yang baru selesai, jumlah calon presidennya 12 pasangan. Padahal, Prancis tidak menganut sistem presidensial murni, mereka menganut sistem semi presidensial, campuran antara parlementarisme dengan presidensialisme. Itu pun pencalonan presidennya cukup terbuka.

“Tidak ada threshold yang besar seperti di Indonesia. Walaupun yang dimuat oleh media hanya Macron dan Le Pen, tapi sebenarnya ada 12 pasangan calon,” kata Saiful.

Di Amerika Serikat (AS), lanjutnya, negara yang menjadi model sistem presidensialisme dunia, syarat untuk menjadi calon presiden cukup sederhana, yang penting dia kelahiran AS, tinggal tetap di Negeri Paman Sam minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal.

DI AS, tidak ada syarat lain, misalnya harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di Kongres atau DPR seperti di Indonesia. Seseorang bisa menyatakan diri sebagai calon presiden, dan jika dia menghabiskan dana lebih dari 5 ribu dolar AS dalam kampanye, maka ia diharuskan daftar ke KPU.

“Begitu sederhana,” tutur Saiful.

“Pada pemilihan presiden Amerika Serikat terakhir, pada 2020, yang banyak diketahui hanya Trump melawan Biden, padahal calon yang maju ada 36 pasangan,” tambahnya.

Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri ini menyatakan bahwa secara konstitusional, peluang untuk memperluas pencalonan presiden ada. Karena, menurutnya, threshold 20 persen, 15 persen, 4 persen, atau 0 persen tidak tercantum di dalam konstitusi.

"Itu adalah aturan dalam undang-undang. Itu merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi," ujarnya.

Dalam konstitusi, sebut dia, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi.

Menurut Saiful, kata-kata, “Diusulkan oleh partai politik” diterjemahkan oleh partai-partai politik di DPR menjadi harus 20 persen, meski sebelumnya pernah lebih kecil, 15 persen pada Pilpres 2004. Saiful melanjutkan bahwa akibat tingginya presidential threshold, 20 persen, maka peluang untuk mendapatkan calon-calon yang lebih fresh atau yang lebih diharapkan menjadi terbatas.

Okelah sebagai sebuah kompromi, calon presiden diajukan oleh partai politik, tapi jangan dengan ambang batas 20 persen, dong,” tegasnya.

Saiful Mujani menegaskan, Indonesia menganut sistem presidensialisme, tetapi praktik pemilunya didikte oleh parlemen atau partai politik. Dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia atau Amerika Serikat, eksistensi presiden itu independen dari parlemen sejak ia menjadi calon.

"Tidak boleh tunduk pada parlemen. Presiden seperti parlemen secara langsung bertumpu pada rakyat, dipilih langsung oleh rakyat, mendapat mandat langsung dari rakyat," tegasnya.

 


Diketahui, gugatan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama dengan Partai Bulan Bintang (PBB) ke Mahkamah Konstitusi (MK) mulai disidangkan pada Selasa (26/4/2022) lalu. Sidang tersebut masih dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.

Seusai persidangan, Ketua DPD, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti mengatakan bahwa gugatan ini bertujuan untuk menyelamatkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat agar tidak dibajak oleh oligarki dan menghindari monopoli partai. Gugatan ini sudah didasarkan pada keputusan bulat rapat paripurna DPD. 

“Demokrasi di Indonesia harus diselamatkan dari cengkeraman oligarki partai politik dan kekuatan uang atau duitokrasi. Salah satu caranya dengan menguji presidential threshold ini ke MK agar semakin banyak mendapatkan alternatif calon presiden. Semakin banyak alternatif pasangan calon, maka peluang Presiden dan Wakil Presiden terpilih dikendalikan oligarki semakin menipis," kata Lanyalla dalam keterangan pers, Rabu (27/4/2022). 

Sejalan dengan DPD, PBB yang digawangi oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra juga berpandangan eksistensi syarat pencalonan presiden 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada pemilu anggota DPR sebelumnya telah melanggar hak konstitusional PBB dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. 

Senada dengan opini Saiful Mujani, Yusril mengatakan hak konstitusional dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden diberikan oleh UUD 1945 kepada seluruh partai politik. Pun batasan (threshold) yang diberikan konstitusi adalah diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa adanya embel-embel perolehan suara.

"Semestinya Pemilu dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip electoral justice. Presidential threshold berdampak negatif karena memberikan perlakuan berbeda kepada partai politik. PBB yang telah berdiri dan berjuang sejak masa reformasi merasa seperti diasingkan akibat keberadaan Pasal 222 UU Pemilu tersebut," ujar Sekretaris Jenderal PBB, Afriansyah Noor.

Pada bulan lalu, Populi Center merilis survei terkait peta politik menjelang Pemilu 2024. Salah satunya adalah mayoritas publik yang tak setuju jika ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen dihapuskan.

Deputi Direktur Populi Center, Rafif Pamenang Irawan menyampaikan bahwa 47,2 persen responden tak setuju jika presidential threshold dihapuskan. Sedangkan yang setuju sebesar 25,3 persen.

"Adapun masyarakat yang mengaku tidak memahami pertanyaan tersebut sebesar 21,6 persen dan menolak menjawab 5,9 persen," ujar Rafif dalam rilis daringnya, Ahad (24/4/2022).

"Paling tidak dari sini menunjukkan bahwa ambang batas presiden itu masih diperlukan menurut publik. Untuk menentukan siapa kontestan di 2024," sambungnya.

 

Populi Center melakukan survei dengan wawancara tatap muka sejak 21 hingga 29 Maret 2022. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak bertingkat dengan margin of error kurang lebih sebesar 2,83 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Responden dipilih secara multistage random sampling, mulai dari pengacakan untuk kelurahan, rukun tetangga (RT), keluarga, hingga akhirnya mendapatkan responden terpilih. Besaran sampel di setiap wilayah dialokasikan sesuai dengan proporsi daftar pemilih tetap (DPT) data Pemilu 2019.

 

Empat Tantangan Partai Islam - (infografis republika)

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler