Perkawinan Bocah SMP di Wajo, KemenPPPA: Berdampak Negatif

Pernikahan dilakukan karena pihak lelaki merasa takut pasangannya dilamar pria lain.

Pixabay
Ilustrasi Pernikahan Dini
Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Hak Anak (KemenPPPA), Agustina Erni menyayangkan, perkawinan anak yang terjadi di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pernikahan ini sempat viral di pemberitaan, lantaran kedua mempelai masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Meskipun tidak mengantongi izin dari kelurahan setempat, pernikahan tetap dilangsungkan dan digelar secara meriah.


"Sangat menyayangkan perkawinan anak ini, yang kedua mempelainya masih di bangku sekolah. Saya harap ini menjadi perhatian untuk dapat bersama terus melakukan upaya pencegahan perkawinan anak yang hingga kini terus terjadi di Indonesia," kata Erni dalam keterangan pers yang dikutip Republika Selasa (31/5/2022). 

"Karena perkawinan anak dapat memberikan dampak yang negatif bagi anak itu sendiri," kata dia menegaskan.

KemenPPPA telah melakukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Wajo. Upaya penjangkauan dan assesmen telah dilakukan melalui UPTD PPA Wajo. 

"Hasilnya pernikahan tersebut dilakukan karena pihak laki-laki merasa takut pasangannya dilamar oleh lelaki lain. Bahkan terdapat ancaman apabila lamarannya tidak diterima, maka rumahnya akan dibakar," ujar Erni. 

 

 

Tidak diberi izin pernikahan

Pihak Kelurahan setempat sebenarnya sudah tidak memberikan izin pernikahan dengan tidak memberikan pengantar. Sehingga kepengurusan dokumen calon yang akan menikah tersebut tidak dilanjutkan. Dengan begitu, proses pengurusan hanya dilakukan sampai pada tingkat kelurahan. Namun, pernikahan berlangsung dengan hanya dinikahkan oleh orang tua mempelai.

"Meskipun edukasi telah dilakukan maksimal dengan menyampaikan dampak perkawinan anak yang dapat membahayakan anak itu sendiri ke depannya, namun memang ini masih sulit untuk sampai ke tahap mengubah pemikiran dari yang bersangkutan,” ujar Erni.

Menurut Erni, jika kondisi tersebut tetap tidak bisa dilakukan pencegahan, maka perlu adanya pendampingan bagi kedua pengantin tersebut baik dalam pendidikan, kesehatan, dan kesiapan pengasuhan anak dengan baik. Proses ini akan melibatkan Dinas Pendidikan, Puskesmas untuk pendampingan kesehatan reproduksi, serta PUSPAGA dalam konseling pengasuhan. Lalu, selanjutnya dapat mengajukan dispensasi kawin untuk perlindungan bagi anak tersebut.

“Upaya penyadaran masyarakat untuk pencegahan perkawinan anak berbasis budaya menjadi penting dengan pendekatan melalui tokoh agama. Hal ini perlu terus dilakukan oleh pihak-pihak terkai," tegas Erni.

Diketahui, Kabupaten Wajo telah menempati urutan pertama kasus perkawinan anak di Sulawesi Selatan. Sepanjang tahun 2021, terdapat sebanyak 746 kasus perkawinan anak yang terjadi di daerah tersebut.

Data dari Kepala UPTD PPA Dinas Sosial Pengendalian Penduduk Kabupaten Wajo, angka kasus perkawinan anak di Kabupaten Wajo merupakan yang paling tinggi di Sulawesi Selatan. Sementara, untuk tahun 2022, data yang tercatat di UPTD PPA Dinsos Kabupaten Wajo per tanggal 24 Mei 2022 tercatat sudah ada 196 berkas pemohon. 

 

Menurutnya, sosialisasi pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Wajo telah sering dilakukan. Namun, upaya tersebut belum berhasil menekan angka dari kasus perkawinan anak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler