Malaysia Berhenti Ekspor Ayam, Restoran Nasi Hainan Singapura Terancam Tutup
Penjaja nasi hainan di Singapura selama ini andalkan pasokan ayam dari Malaysia.
REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Penghentian ekspor ayam oleh Malaysia sejak Rabu (1/6/2022) mendatangkan acaman tersendiri bagi bisnis kuliner nasi ayam Hainan, makanan khas Singapura. Restoran dan kios kaki lima di negara-kota itu pun dihadapkan pada kenaikan harga atau tutup sama sekali karena kekurangan pasokan ayam.
Pemilik tujuh kios OK Chicken Rice, Daniel Tan mengatakan, terhentinya pasokan ayam dari Malaysia akan menjadi bencana bagi penjual makanan sepertinya. Daniel tak akan bisa berjualan tanpa daging ayam.
"Ini seperti McDonald's tanpa burger," katanya.
Daniel mengatakan, kios chicken rice-nya biasanya mencari unggas hidup dari Malaysia dan kini harus beralih menggunakan ayam beku untuk sepekan ke depan. Dia mengharapkan penjualan tetap laris meskipun pelanggan bereaksi terhadap perubahan kualitas hidangan.
Nasi ayam hainan adalah hidangan yang disukai oleh 5,5 juta orang di Singapura. Biasanya, hidangan yang terbuat dari sepiring ayam rebus sederhana dan nasi putih yang dimasak dalam kaldu dan disajikan dengan sayuran hijau itu tersedia secara luas dengan harga sekitar empat dolar Singapura (sekitar Rp 42 ribuan) di restoran.
Begitu ada pasokan dari Malaysia terhenti, kelangkaan atau kenaikan harga harus dihadapi konsumen. Larangan ekspor ayam Malaysia adalah tanda terbaru dari meningkatnya kekurangan pangan global karena negara-negara sedang terhuyung-huyung dari efek invasi Rusia ke Ukraina, cuaca ekstrem, dan gangguan pasokan terkait pandemi.
Setiap negara berebut untuk menopang pasokan domestik dan menjinakkan inflasi makanan. Kenaikan harga bahan makanan pokok telah memicu protes di sejumlah negara, mulai dari Argentina, Indonesia, Yunani, hingga Iran.
Singapura memang hanya memiliki wilayah perkotaan yang padat seluas 730 km persegi. Sebagian besar bergantung pada makanan, energi, dan barang-barang impor lainnya.
Hampir semua ayamnya diimpor, menurut data dari Singapore Food Agency (SFA). Sebanyak 34 persen pasokan ayam berasa dari Malaysia, 49 persen dari Brasil, dan 12 persen dari Amerika Serikat.
SFA mengatakan, kekurangan tersebut dapat diimbangi dengan ayam beku dari Brasil. Badan ini pun telah mendesak konsumen untuk memilih sumber protein lain seperti ikan untuk menghadapi kelangkaan pasokan ayam.
Malaysia memutuskan untuk menghentikan ekspor ayam sampai produksi lokal dan biaya stabil. Harga telah dibatasi sejak Februari pada 8,90 ringgit (hampir Rp 30 ribu) per unggas dan subsidi sebesar 729,43 juta ringgit telah disisihkan untuk peternak unggas.
Pakan ayam biasanya terdiri dari biji-bijian dan kedelai yang diimpor oleh Malaysia. Namun, Singapura terdesak untuk mempertimbangkan alternatif di tengah kekurangan pakan global yang berpotensi membuat harga naik.
Peternak unggas Syaizul Abdullah Syamil Zulkaffly menyatakan, peternak bisa saja menggunakan pakan berkualitas rendah. Konsekuensinya, unggas tidak tumbuh secepat biasanya dan pasokan pun otomatis akan lebih lambat.
Sebelumnya, peternakan ayam broiler milik Syaizul mampu panen sebanyak tujuh kali dalam setahun, dengan panen 45 ribu ekor per siklus. Tahun ini, dia mengharapkan hanya lima siklus panen.
Syaizul mulai merasakan beban biaya operasional yang lebih tinggi selama pandemi. Dia mengatakan, larangan ekspor hanya akan memperburuk keadaan bagi peternak unggas.
"Saya tidak tahu apakah industri ini dapat menopang saya untuk lima atau 10 tahun ke depan," kata Syaizul yang mengaku harus berutang untuk memenuhi biaya.
"Mungkin saya harus bekerja di pom bensin atau sesuatu yang lebih baik, lebih sedikit sakit kepala daripada sebatas mengelola peternakan ayam," ujarnya.