ILO akan Tinjau Kebijakan Perburuhan China di Xinjiang
Sejumlah kelompok HAM menuduh China lakukan praktik kerja paksa di Xinjiang.
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komite Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) PBB telah menyerukan misi untuk meninjau lebih lanjut kebijakan perburuhan China di Xinjiang. Sejumlah kelompok hak asasi manusia menuduh China melakukan praktik kerja paksa terhadap Muslim Uighur, di Xinjiang.
Seorang sumber mengatakan, misi penasihat teknis tersebut akan kalah dengan kekuatan investigasi yang dilakukan oleh beberapa negara termasuk Amerika Serikat dan Inggris. Sebaliknya, misi tersebut akan memfasilitasi dialog dan membantu China menyelaraskan praktiknya dengan praktik internasional. Seorang juru bicara ILO tidak menanggapi permintaan komentar.
Awal tahun ini, Komite ILO menyatakan keprihatinan mendalam tentang kebijakan China di wilayah Xinjiang. Kekhawatiran tersebut secara resmi dikemukakan oleh negara-negara anggota dan kelompok pekerja dalam pertemuan ILO minggu lalu. Komite ILO kemudian mempertimbangkan tindakan sejak saat itu.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia menuduh bahwa, Muslim Uighur melakukan kerja paksa dan mendekam dalam kamp-kamp penahanan. China membantah tuduhan itu. Pekan lalu, Beijing mengatakan, undang-undang, peraturan, dan praktiknya sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip Konvensi tentang Diskriminasi.
Pada April, Beijing menyetujui ratifikasi dua konvensi tentang kerja paksa. Tetapi mereka belum menyerahkan dokumentasi lengkap yang diperlukan. Oleh karena itu, ILO tidak dapat mengevaluasi kepatuhan Beijing terhadap teks-teks tersebut.
Sebelumnya pihak berwenang Amerika Serikat (AS) siap untuk menerapkan larangan impor dari wilayah Xinjiang, China. Seorang pejabat Bea Cukai AS pada awal Juni mengatakan, undang-undang yang mengatur larangan tersebut mulai berlaku 21 Juni.
Pada Desember Presiden AS Joe Biden menandatangani undang-undang Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur (UFLPA). Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi pasar AS dari produk yang berpotensi tercemar oleh pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Pemerintah AS mengatakan, China melakukan genosida terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Undang-undang tersebut melarang semua impor barang dari Xinjiang. Otoritas China mendirikan kamp-kamp penahanan untuk Muslim Uighur dan kelompok Muslim lainnya. Otoritas China diduga menerapkan kerja paksa terhadap minoritas Muslim di Xinjiang. China menyangkal berbagai laporan bahwa mereka telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Xinjiang merupakan produsen kapas utama, dan memasok sebagian besar komponen untuk panel surya. Beberapa anggota parlemen AS mendukung permintaan oleh Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) untuj menerapkan larangan impor barang dari Xinjiang secara efektif mulai 21 Juni. Berdasarkan undang-undang tersebut setiap barang yang diimpor dari Xinjiang harus disertakan bukti bahwa barang tersebut tidak dibuat oleh pekerja dengan sistem kerja paksa.
"Kita semua berada dalam kerangka waktu yang sangat ketat. Harapannya adalah kami akan siap untuk menerapkan undang-undang Uighur pada 21 Juni, dan kami memiliki sumber daya. Jadi pertanyaannya, apakah kita siap menerapkan? Ya, kami siap," ujar Direktur Eksekutif Pelaksana CBP untuk Gugus Tugas Implementasi UFLPA, Elva Muneton.
Importir akan memiliki opsi untuk mengekspor kembali kargo yang dilarang kembali ke negara asal. Muneton mengatakan, setiap pengecualian terkait barang impor yang tidak menggunakan kerja paksa harus diberikan ke komisaris CBP dan dilaporkan ke Kongres. Muneton menambahkan, CBP akan dapat mengeluarkan penalti terhadap importir jika terjadi penipuan.
"Penting untuk diketahui bahwa undang-undang Uighur membutuhkan bukti yang sangat akurat. Ini akan membutuhkan dokumentasi, bukti yang jelas dan meyakinkan bahwa rantai pasokan produk yang diimpor bebas dari kerja paksa," kata Muneton.
Beijing awalnya menyangkal keberadaan kamp penahanan di Xinjiang. Tetapi mereka kemudian mengakui telah mendirikan "pusat pelatihan kejuruan" yang diperlukan untuk mengekang apa terorisme, separatisme, dan radikalisme agama di Xinjiang.