47 Negara Desak PBB Segera Terbitkan Laporan Penyelidikan Xinjiang
China mengakui bahwa ada kamp di Xinjang tetapi membantah jadi tempat penahanan.
REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Sebanyak 47 negara telah menyuarakan keprihatinan tentang dugaan pelanggaran di wilayah Xinjiang, China. Mereka menuntut agar kepala Dewan Hak Asasi Manusia PBB menerbitkan laporan yang lama tertunda tentang situasi di Xinjiang.
“Kami sangat prihatin tentang situasi hak asasi manusia di Daerah Otonomi Uighur, Xinjiang,” ujar Duta Besar Belanda untuk PBB di Jenewa, Paul Bekkers, kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Selasa (14/6/2022).
Bekkers menyampaikan pernyataan keprihatinan bersama atas nama 47 negara. Bekkers mencatat sejumlah “laporan kredibel” yang menunjukkan bahwa, lebih dari satu juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya telah ditahan secara sewenang-wenang oleh pemerintah China.
Beijing mengakui bahwa ada kamp di Xinjang. Namun mereka menolak tuduhan bahwa kamp tersebut merupakan tempat penahanan warga Uighur. Beijing mengatakan, kamp itu adalah pusat pelatihan keterampilan kejuruan yang diperlukan untuk mengatasi ekstremisme.
“Ada laporan tentang pengawasan luas yang sedang berlangsung, diskriminasi terhadap warga Uighur dan orang lain yang termasuk minoritas,” kata Bekkers, dilansir Aljazirah, Rabu (15/6/2022).
Pernyataan bersama itu juga menyuarakan keprihatinan tentang laporan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Termasuk sterilisasi paksa, kekerasan seksual, kerja paksa, dan pemisahan paksa anak-anak dari orang tua mereka oleh pihak berwenang.
"Kami mengulangi seruan kami pada China untuk segera mengatasi masalah ini, dan mengakhiri penahanan sewenang-wenang terhadap Muslim Uighur serta minoritas lainnya," kata Bekkers.
Bekkers mengatakan, 47 negara itu juga meminta Beijing untuk memberikan akses yang tidak terbatas kepada penyelidik dan ahli PBB untuk secara independen mengamati situasi di Xinjiang.
Setelah berbulan-bulan menuntut dibukanya akses tanpa batas ke Xinjiang, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet akhirnya mengunjungi China bulan lalu. Ini adalah kunjungan pertama oleh seorang kepala Dewan Hak Asasi Manusia PBB ke China dalam 17 tahun.
Tetapi Bachelet menghadapi kritik keras karena tidak mengkritisi dugaan pelanggaran China sebelum dan selama perjalanannya ke Xinjiang. Sikap Bachelet ini diyakini sangat dikendalikan oleh otoritas China. Dalam pernyataan bersama, 47 negara tersebut meminta pengamatan lebih rinci, termasuk pembatasan yang diberlakukan otoritas China pada kunjungan Bachelet.
Duta Besar China untuk PBB, Chen Xu geram dengan pernyataan bersama 47 negara tersebut. Chen mengutuk Belanda dan para penandatangan lainnya karena menyebarkan kebohongan dan rumor untuk menyerang China.
“Kami dengan tegas menolak tuduhan ini. Ini adalah upaya untuk terlibat dalam manipulasi politik," ujar Chen.
Bachelet menghadapi tekanan yang semakin besar untuk merilis laporan yang telah lama tertunda tentang Xinjiang. Bachelet berjanji bahwa laporan itu akan diterbitkan sebelum dia mundur pada 31 Agustus.
Akademisi yang mengkhususkan diri di Xinjiang dan meminta PBB untuk menyelidiki kamp-kamp tersebut pada 2018, juga telah mengkritik Bachelet atas kunjungannya ke China. Para akademisi itu mendesak Bachelet untuk mempublikasikan laporan tersebut sesegera mungkin.
“Meskipun kami tidak setuju pada beberapa pertanyaan tentang mengapa Beijing melakukan kekejamannya di Xinjiang, kami sepakat dalam pemahaman kami tentang apa yang dilakukan negara China di lapangan,” kata 40 akademisi dalam surat terbuka yang diterbitkan minggu lalu.
Dalam surat terbuka itu, 40 akademisi mengatakan, konsensus ini adalah hasil dari sejumlah bukti yang telah diberikan oleh China. Beberapa dokumen tersebut bocor tetapi sebagian besar dirilis secara publik di internet China. Bukti ini, dilengkapi dengan kesaksian para penyintas dan citra satelit, yang memberikan gambaran rinci tentang program genosida pemerintah China terhadap warga Uighur dan minoritas lainnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pertama kali mengungkapkan penahanan jutaan etnis Uighur di Xinjiang pada akhir 2018. Amnesty International kemudian menuduh Beijing menciptakan “pemandangan neraka dystopian” di wilayah tersebut.