Hari Arafah dan Puasa Arafah, Bolehkah Berbeda?
Pemerintah Saudi dan Indonesia berbeda dalam penetapan 1 Dzulhijah.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustadz Hasan Yazid Al-Palimbangy
Pemerintahan Saudi Arabiyah menetapkan wukuf di Arafah untuk jamaah haji tahun 1443H/2022 M ini jatuh pada Jumat, 8 Juli 2022. Itu artinya pemerintah Saudi menetapkan hari itu sebagai tanggal 9 Dzulhijjah dan hari Sabtunya Idul Adha.
Namun Kementerian Agama Republik Indonesia memutuskan ternyata dari hasil rukyat yang dilakukan menetapkan 1 Dzulhijjah itu jatuh pada hari Jumat, 1 Juli 2022. Artinya tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu dan hari Ahadnya Idul Adha.
Perbedaan hasil rukyat kedua negara ini membuat ramai sebagian masyarakat Indonesia. Mungkin ada yang bingung, terutama dalam menentukan kapan kita yang di Indonesia ini melaksanakan puasa sunnah Arafah? Untuk selanjutnya juga membingungkan, kapan kita berlebaran, ikut pemerintah Saudi atau Indonesia?
Kalau kita menggunakan logika, sudah jelas jamaah haji melakukan wukuf arafah pada 8 Juli. Kok malah di Indonesia melaksanakan puasa Arafah di tanggal 9 Juli. Padahal puasa Arafah dilaksanakan pada waktu jamaah haji melakukan wukuf Arafah. Benarkah demikian? Berangkat dari permasalahan inilah kemudian saya tertarik untuk menjelaskan sekilas tentang Puasa Arafah dan Wukuf Arafah.
Hari Arafah adalah hari di mana semua jamaah haji melakukan puncak ritual haji dengan melakukan wukuf di Arafah, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa ‘Al-Hajju Arafah’ Haji itu Arafah. Dan hari Arafah itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah.
Jadi wukuf di Arafah itu harus bertepatan dengan dua hal; waktu dan tempat. Waktunya pada tangal 9 Dzulhijjah, dan tempatnya adalah di Arafah.
Sedangkan puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan oleh mereka yang tidak sedang melaksanakan wukuf di mana waktunya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah, waktu di mana mereka yang sedang menunaikan ibadah haji melaksanakan wukuf di Arafah.
Jadi ada titik temu antara dua jenis ibadah ini (wukuf dan puasa) yaitu waktunya bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Dan yang perlu diketahui dua ibadah ini tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya.
Di mana ibadah wukuf akan tetap sah walaupun orang-orang di luar Mekkah sana tidak sedang melaksanakan ibadah puasa. Sebaliknya ibadah puasa sunnah tanggal 9 itu tetap sah walaupun orang yang sedang berhaji itu tidak wukuf.
Jadi sekali lagi puasa Arafah bukan karena mereka wukuf, tapi puasa itu dilakukan karena ia bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Pun begitu sebaliknya, wukuf itu dilakukan bukan karena orang di luar sana puasa, tapi karena ia bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah. Karena standar ibadah kita adalah waktu.
Ketika Nabi Muhammad SAW puasa tanggal 9 Dzulhijjah ternyata belum ada umat Islam yang wukuf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah. Sementara puasa 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah menurut sebagian riwayat. Jadi beliau SAW bukan puasa Arafah, tetapi puasa 9 Dzulhijjah”.
Lalu bagaimanakah menentukan tanggal 9 Dzulhijjah? Di sinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 Dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.
Maka cara menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 Dzulhijjah. Dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan. Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; Hisab Wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya.
Lalu bagaimana jika penetapan tanggal 1 Dzulhijah ternyata berbeda dengan negeri lainnya? Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini setiap negeri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya keputusan ini bukan dengan semaunya kita, tetap harus melalui metode yang benar.
Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang sudah masyhur, diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya: “Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku."
“Kapan kalian melihat hilal ?” tanya Ibnu Abbas. “Kami melihatnya malam Jumat”, jawab Kuraib. “Kamu melihatnya sendiri ?”, tanya Ibnu Abbas. “Ya, saya melihatnya dan masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa”, jawab Kuraib.
Ibnu Abbas menjelaskan: “Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”. Kuraib bertanya lagi, “Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”.
Jawab Ibnu Abbas, “Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580).
Dari cerita Kuraib di atas bisa diambil beberapa pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu umat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkinkan bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keputusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.
Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Arab Saudi boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.
Lalu timbul pertanyaan mau ikut Arab Saudi atau pemerintah Indonesia? Ada pendapat yang bisa dijadikan patokan, yang bersumber dari salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal (negeri tempat tinggalnya), dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukakan dalam fatwanya, artinya: “Dan yang benar itu adalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf Arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka. Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), jangan berbukalah” (Majmu’ Fatwa Ibnu Utsaimin).
Kesimpulannya perkara ini sangat longgar, tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah melakukan usaha dalam penentuan awal Dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah Arab Saudi.
Untuk mereka yang sekarang berada di Arab Saudi, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam hal apa saja; sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa Ramadhan, puasa 9 Dzulhijjah dan dua lebaran “boleh-boleh” saja mengkuti keputusan Saudi. Wallahu A’lam Bisshawab.