Pengamat: Kandidat Capres Non Partai Perlu Pendekatan ke Parpol
Parpol akan melihat calon presiden yang memberi efek ekor jas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik sekaligus Direktur IndoStrategi Research and Consulting Arif Nurul Imam melihat kekhawatiran kandidat calon presiden (capres) yang memiliki elektabilitas yang tinggi, tidak dicalonkan sebagai capres 2024. Penyebabnya, kandidat capres ditinggal partai politik (parpol) karena tidak menjalin kedekatan ke partai yang memiliki tiket pencapresan.
Arif mengungkapkan potensi akan terbentuk tiga atau empat poros politik, akan membuka peluang banyak kandidat. Namun di sisi lain bisa jadi ada kandidat capres non-parpol yang justru ditinggal karena tidak menjalin kedekatan dengan koalisi parpol yang memiliki tiket pencalonan.
"Misal, peluang Anies masih ada meski tidak ada jaminan, setidaknya bisa berharap poros yang dibangun Nasdem," kata Arif kepada wartawan, Kamis (30/6/2022).
Peluang Anies ini bisa jadi hilang, bila ternyata pendekatan ke Nasdem ternyata tidak dilakukan. Ataupun ternyata Nasdem memiliki kandidat capres lain yang dianggap justru lebih menguntungkan elektabilitas partai. Sama halnya, menurut dia, dengan Ganjar.
"Soal PDIP tentu kita hanya bisa menerka-nerka namun kayaknya Megawati masih memprioritaskan Puan Maharani untuk diusung," ujarnya.
Menurutnya, Ganjar juga perlu melakukan pendekatan ke koalisi parpol yang memiliki tiket pencalonan presiden 20 persen. Seperti Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digawangi tiga parpol, Golkar PAN dan PPP, misalnya.
Karena bagaimanapun, ia meyakini, ketiga parpol akan melihat calon yang memberi efek ekor jas (coat tail effect) ke elektabilitas partainya. Kalau ternyata Ganjar tidak bisa bergerak karena aturan partai, seperti yang disampaikan Megawati, maka KIB justru akan dirugikan.
"Sementara Prabowo-Puan secara syarat dukungan parpol sangat memungkinkan karena lebih dari cukup," terangnya.
Sama halnya dengan peluang tokoh non-parpol yang masuk dalam elektabilitas papan tengah. Seperti Erick Thohir (ET) dan Ridwan Kamil (RK). Peluang mereka di calon wakil presiden (cawapres), juga akan hilang kalau tidak melakukan pendekatan ke parpol koalisi yang memenuhi syarat 20 persen threshold.
"Kalau mau jadi cawapres ET dan RK mesti mencari dukungan parpol untuk bargaining agar dicalonkan. Jangan hanya berharap ditawarkan saja," kata dia.
Karena, mereka berbeda dengan AHY. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masih memiliki partai memiliki 7 persen, bagian dari koalisi. Ini bisa sebagai syarat untuk melengkapi ambang batas 20 persen pencalonan presiden.
"Peluang AHY selalu ada, namun peluang AHY jauh lebih besar dari mereka (ET dan RK) karena memiliki dukungan parpol," ujar Arif.
Sama halnya, kalaupun poros Nasdem, PKS dan Demokrat terbentuk. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan AHY berpeluang jadi bakal cawapres. Tinggal siapa capresnya, apakah bisa mengerek elektabilitas partai lain selain Demokrat. Kalau Anies, ia tetap dibutuhkan untuk menunjukkan kedekatan ke dua partai lainnya. Karena itu, pendekatan ke parpol juga tetap diperlukan.