Prof Zullies: Ganja Medis Bisa Jadi Alternatif Jika Obat Lain tidak Ada yang Mempan
Prof Zullies menyebut, urgensi ganja medis di dunia kesehatan sebenarnya tidak besar.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Apt Zullies Ikawati PhD berdapat bahwa ganja medis bisa menjadi alternatif obat apabila pengobatan sebelumnya tidak memberikan respons baik. Itu artinya, penggunaan ganja medis belum menjadi pilihan utama.
"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obatan yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan," kata Prof Zullies kepada Antara, Jumat (1/7/2022).
Di sisi lain, menurut Prof Zullies, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya. Perlu pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat untuk itu.
"Jika benar-benar tidak ada yang mempan, baru ganja medis bisa digunakan, itu pun dengan catatan harus berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas," kata pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM.
Prof Zullies mengatakan, tentu saja masih ada obat lain yang dapat digunakan, tidak hanya ganja medis. Ia menegaskan, posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat-obat lain, jika memang tidak memberikan respons yang baik.
"Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi," ujar Prof Zullies.
Sebagai informasi, ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang, yang merupakan salah satu efek dari pengobatan untuk cerebral palsy yang tengah ramai diperbincangkan belakangan ini.
Saat disinggung dari sisi regulasi, Prof Zullies berpendapat hal tersebut bisa mengacu pada senyawa morfin, misalnya, yang juga berasal dari tanaman candu/opiat. Ia menjelaskan, morfin adalah obat yang legal dan dapat diresepkan untuk indikasi penyakit tertentu yang memang tidak bisa diatasi dengan obat lain, seperti nyeri kanker.
"Tentu dengan pengawasan dan distribusi yang ketat. Tetapi tanamannya kan tetap ilegal dan masuk ke dalam narkotika golongan 1, karena berpotensi besar untuk disalahgunakan," kata Prof Zullies.
Menurut Prof Zullies, sama dengan ganja. Hal yang sama juga bisa diperlakukan demikian.
"Untuk itu, perlu diatur kebijakan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja, terutama jika sudah mengikuti kaidah riset dan penemuan obat, sampai obat didaftarkan di Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sementara, tanaman ganjanya tetap tidak bisa legal, karena berpotensi disalahgunakan," jelas Prof Zullies.
Menurut Prof Zullies, ganja medis bukan pemanfaatan ganja untuk alasan terapi. Ini adalah obat yang berasal dari komponen aktif ganja.
"Ini hal yang berbeda, karena ketika sudah dalam bentuk murni, maka bisa ditetapkan dosisnya, dan bisa dipisahkan dari senyawa yang bersifat psikoaktif (yang menyebabkan ketergantungan)," kata Prof Zullies.
Contoh ganja medis adalah cannabidiol. Obat ini sudah dikembangkan dan bahkan sudah disetujui Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat sebagai obat anti kejang.
"Selama pengembangan dan pemanfaatan ganja medis ini masih dalam koridor saintifik, didukung bukti klinis, dan sudah mempertimbangkan manfaat dan risiko (risk and benefit), maka alternatif ini baru bisa bermanfaat," ujar Prof Zullies.