Pemerintah Tambahkan Definisi Kritik dalam Pasal Penghinaan Presiden RKUHP
Kritik penghinaan presiden dimasukkan dalam Pasal 218 Ayat 2 RKUHP.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyerahkan draf revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR. Salah satu perbaikan yang dijelaskannya adalah penambahan penjelasan atau definisi mengenai kritik yang berkaitan dengan Pasal 218 Ayat 1 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Pria yang akrab disapa Eddy itu menjelaskan, pemerintah menambahkan penjelasan mengenai kritik dalam Pasal 218 Ayat 2. Dijelaskan pertama yang dimaksud dengan "dilakukan untuk kepentingan umum" adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.
Misalnya, melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden atau wakil presiden. Selanjutnya, kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan presiden atau wakil presiden yang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.
"Kritik bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif. Kritik mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden atau wapres. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat," ujar Eddy dalam rapat kerja dengan Komisi III, Rabu (6/7/2022).
Lanjutnya, kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat. Serta tidak menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wapres.
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) juga melakukan sinkronisasi terhadap batang tubuh RKUHP dengan penjelasan. Salah satunya mengenai penjelasan "kepentingan umum" dalam Pasal 256.
"Ditambahkan penjelasan mengenai kepentingan umum dalam Pasal 256 mengenai penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi," ujar Eddy.
Di samping itu, terdapat tujuh hal ihwal penyempurnaan terhadap RKUHP. Pertama adalah terkait 14 poin krusial yang terdapat dalam RUU KUHP, yakni pasal hukum yang hidup dalam masyarakat (Living Law); pidana mati; penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden; menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib; dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin; Contempt of court; unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih; pasal soal advokat yang curang; penodaan agama; penganiayaan hewan; alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan; penggelandangan; pengguguran kandungan; perzinaan, kohabitasi, dan perkosaan.
"Kedua terkait ancaman pidana, ketiga terkait bab tindak pidana penadahan, penerbitan, dan percetakan, keempat terkait harmonisasi undang-undang di luar KUHP," ujar Eddy.
Selanjutnya, sinkronisasi batang tubuh dan penjelasan. Keenam adalah terkait teknik penyusunan. Terakhir adalah yang berkaitan dengan typo atau perbaikan penulisan dalam draf RUU KUHP.