Permintaan Tinggi, Penerbitan Baru Sukuk Terus Meningkat
Penerbitan sukuk sempat menurun pada 2020 akibat pandemi Covid-19
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerbitan sukuk di Indonesia menunjukkan tren yang positif beberapa tahun terakhir. PT pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengatakan tren tersebut utamanya didorong oleh faktor permintaan yang tinggi dari investor.
"Penerbitan sukuk sangat didorong oleh demand," kata Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra dalam acara Media Forum Pefindo yang digelar secara virtual pada Jumat (8/7).
Berdasarkan catatan Pefindo, penerbitan baru sukuk mengalami peningkatan sejak 2018 yang tumbuh 42,4 persen dari 2017 menjadi Rp 10 triliun. Kenaikan terus berlanjut pada 2019 sebesar 66,4 persen menjadi Rp 16,6 triliun.
Pada 2020, penerbitan sukuk sempat turun drastis hingga 52,5 persen menjadi Rp 7,9 triliun di tengah pandemi Covid-19. Meski demikian, penerbitan kembali meningkat signifikan pada 2021 sebesar 71 persen menjadi Rp 13,5 triliun.
Sementara pada semester I 2022, penerbitan baru sukuk telah mencapai Rp6,7 triliun. Ke depan, Salyadi mengatakan, penerbitan sukuk masih akan sangat bergantung pada permintaan investor.
"Pada dasarnya return yang ditawarkan sukuk dengan obligasi konvensional hampir sama, sehingga penerbitan sukuk akan sangar bergantung pada demand-nya," terang Salyadi.
Sejauh ini, Salyadi melihat, investor institusi untuk sukuk mulai bertambah seperti Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan beberapa bank syariah.
Selanjutnya, peluncuran produk-produk reksa dana syariah juga dapat menjadi katalis positif perembangan sukuk. Reksa dana syariah yang menggunakan sukuk sebagai underliying aset akan memicu penerbitan sukuk.
Adapun outstanding sukuk juga mengalami kenaikan setiap tahunnya sejak 2017. Peningkatan paling signifikan terjadi pada 2019 yang mencapai 50,7 persen menjadi Rp 35,1 triliun.
Kenaikan outstanding sukuk terus berlanjut hingga tahun lalu yang telah mencapai Rp 43,6 triliun. Sementara pada semester I 2022, outstandig sukuk telah menyentuh angka Rp 48,1 triliun.