Pengamat Ekonomi Syariah Ingatkan Potensi Dampak Sistemik Kasus ACT

Kegiatan filantropi sangat berhubungan dengan kepercayaan donatur.

Prayogi/Republika.
Pegawai beraktivitas di kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT), Menara 165, Jakarta, Rabu (6/7/22).Prayogi/Republika
Rep: Fuji E Permana Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono, mengatakan bahwa, dampak dari kasus Aksi Cepat Tanggap (ACT) terhadap lembaga lain, tapi dampaknya tidak bisa dipandang enteng. Yusuf mengatakan, ada risiko sistemik dari lembaga filantropi, karena filantropi hubungannya dengan kepercayaan. 

Baca Juga


"Jadi keseluruhan dapat risikonya, risikonya sistemik tidak hanya risiko ke satu lembaga saja, kalau dibilang apakah akan berdampak ya pasti ada dampaknya, kejadian ini memang kita sesalkan sekali," kata Yusuf kepada Republika, Ahad (10/7/2022).

Yusuf mengatakan, yang terjadi dengan ACT menjadi pelajaran bagi lembaga-lembaga filantropi yang lain, agar tidak terjadi kejadian yang sama. Ia menjelaskan, memang ada yang berpendapat bahwa ACT adalah lembaga filantropi umum atau lembaga kemanusiaan, bukan lembaga zakat. Tetapi, citra atau posisi ACT tidak bisa dilepaskan lembaga filantropi Islam.

"Menurut saya dampaknya (dari kasus ACT) tidak bisa dipandang enteng, saya memang belum bisa memperkirakan dampaknya sejauh mana, tapi tidak bisa dianggap enteng dampaknya," ujar Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) ini.

Yusuf mengatakan, kasus yang menimpa ACT baru pertama kali terjadi di dunia lembaga filantropi Islam di Indonesia. Ia menegaskan, memang belum diketahui hasil investigasi dari Kementerian Sosial (Kemensos) terhadap ACT.

Menurut Yusuf, jika melihat catatan laporan keuangan ACT, lembaga filantropi tersebut belum pernah bermasalah. Laporan keuangannya baik-baik saja, semuanya diaudit, dan hasilnya wajar tanpa pengecualian (WTP).

"Ini dalam tanda petik sebenarnya secara formal tidak ada masalah tapi kalau secara umum saya melihat kasusnya lebih kepada ketidakpatutan, ketidakpantasan mengelola atau mengambil hak amil atau pengelola lembaga terlalu besar, dan cenderung untuk bermewah-mewah, terlalu besar mengambil (bagian) untuk pengurusnya terutama untuk pimpinannya," jelas Yusuf.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler