Pemberian Beasiswa Mahasiswa Asal Papua Perlu Payung Hukum
Berhentinya pemberian beasiswa ke mahasiswa asal Papua sudah beberapa kali terjadi.
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabriel Lele mempertanyakan keberpihakan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) oleh Pemda Papua, salah satunya kepada mahasiswa asal Papua. Hal ini disampaikan Gabriel menyusul pemberian beasiswa kepada ratusan mahasiswa di DIY asal Manokwari, Papua Barat yang terhenti sejak 2020 lalu.
"Persoalannya bukan pada uang, uang itu ada, tetapi soal cara pengelolaan, keberpihakan pada pengembangan SDM termasuk adik-adik mahasiswa itu menjadi pertanyaan," kata Gabriel kepada Republika melalui sambungan telepon, Selasa (12/7/2022).
Menurut Gabriel, pemberian beasiswa ini perlu adanya payung hukum yang jelas. Pasalnya, berhentinya pemberian beasiswa kepada mahasiswa asal Papua sudah beberapa kali terjadi.
Bahkan, katanya, hal ini tidak hanya terjadi kepada mahasiswa asal Papua yang ada di DIY. Namun, mahasiswa Papua di beberapa daerah lainnya di Indonesia juga ada yang mengalami hal serupa.
"Kalau Pemda Papua, maupun provinsi, kabupaten/kota memang punya perhatian, punya konsen terhadap pengembangan putra-putrinya, maka ini sebaiknya dibingkai dengan payung hukum yang jelas. Sehingga siapapun kepala daerahnya dia terikat dengan itu, tidak tergantung kepada selera kepala daerah (untuk memberikan beasiswa)," ujarnya.
Jika diakumulasikan, katanya, ada ribuan mahasiswa asal Papua di seluruh wilayah di Indonesia yang beasiswanya tersendat bahkan terhenti. Hal ini ada yang dikarenakan pergantian kepala daerah, sehingga menyebabkan kebijakan juga berubah seperti berubahnya kebijakan pemberian beasiswa.
"Kalau diakumulasi untuk seluruh mahasiswa Papua tidak hanya di Yogya, tidak hanya di Jawa, tapi seluruhnya, jumlahnya itu ribuan. Termasuk di Papua itu ada mahasiswa yang secara rutin mereka menuntut mengapa beasiswa ini dihentikan, penjelasanya (dari pemda setempat) penjelasan politik karena tidak ada payung hukumnya," tambahnya.
Gabriel menyebut, selama ini banyak pemberian beasiswa dari Pemda Papua tidak didasari dengan kontrak yang mengikat. Termasuk pemberian beasiswa kepada mahasiswa asal Manokwari tersebut, yang mana modelnya hanya seperti bantuan sosial yang diserahkan oleh kepala daerah.
"Saya sudah cek ke semua daerah (di Papua) tidak ada sama sekali (payung hukum dalam pemberian beasiswa), itu benar-benar tergantung pada kerelaan dari si kepala daerah. Kecuali kalau kasus model beasiswa yang pemdanya memang bekerja sama dengan universitas tertentu termasuk dengan UGM, itu ada (kontrak)," jelas Gabriel.
Dengan adanya payung hukum, keberlanjutan pemberian beasiswa pun dapat dipertanggung jawabkan. Setidaknya, katanya, payung hukum yang dikeluarkan terkait pemberian beasiswa ini dapat berupa peraturan daerah (perda).
Meskipun begitu, tentunya harus ada kriteria maupun prosedur yang jelas diatur dalam perda tersebut. "Jadi prosedur dan kriterianya harus diperjelas dan semuanya bisa diatur dalam perda itu. Misalnya, mahasiswa akan diberikan beasiswa jika IPK minimal sekian dan masa studi sampai dengan maksimal lima tahun misalnya," katanya.
"Katakanlah yang paling kuat memang perda, yang mewajibkan kepala daerah untuk memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang tentu saja dengan prosedur atau kriteria tertentu. Karena ada juga mahasiswa yang saking enaknya menerima beasiswa dari berbagai sumber dalam jumlah besar itu akhirnya tidak lulus-lulus," lanjut Gabriel.