Pengakuan Jaringan Rakyat Pantura Klaim Bangun Pagar Laut Mencurigakan

Jaringan Rakyat Pantura mengeklaim pagar laut tersebut dibangun secara swadaya.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Penampakan pagar laut di kawasan Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (10/1/2024). Nelayan mengeluhkan sulit mencari tangkapan ikan akibat adanya pagar laut yang membentang di perairan Tangerang, Banten.
Rep: Eva Rianti/Fitriyan Zamzani/Teguh Firmansyah/Antara Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengakuan dari nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Pantura terkait pembangunan pagar laut dinilai mencurigakan. Karena anggaran yang dibutuhkan untuk membangun tidak sedikit.

Hal itu juga kontradiksi dengan pengakuan nelayan setempat yang mengaku kesulitan untuk mencari ikan akibat pembangunan pagar tersebut.

Pun soal klaim buat mencegah abrasi juga tidak dibenarkan, karena investigasi Ombudsman justru menyebut pagar laut itu merusak ekosistem.

"Ujug-ujug ada Nelayan dari Jaringan Rakyat Pantura (JRP) Kabupaten Tangerang, Banten, mengeklaim bahwa pagar laut di Tangerang di bangun oleh masyarakat secara SWADAYA untuk mitigasi bencana tsunami dan abrasi. Loe percaya nder, ama yg kayak gini?" ujar politikus PKS asal Banten, Mulyanto lewat kicauan di X, Ahad (12/1/2025).

Ia maminta aparat menyelidiki siapa pihak yang diduga membayar gabungan nelayan itu. Selidiki siapa pelaku asli di balik pembangunan pagar tersebut.

Ada tiga hal yang membuat logika JRP tersebut kurang logis. Pertama, kata Mulyanto, nelayan justru harus memutar jauh saat melaut. Sehingga alih-alih untung, mereka justru rugi dengan adanya pagar laut tersebut. "Secara resmi mereka sampaikan kepada Ombudsman RI. Bahkan Ombudsman sudah menghitung kerugian nelayan per tahun," ujarnya.

Kedua, kata ia, berdasarkan hitungan kasar bahan dan jasa membuat pagar laut sekitar Rp 500 ribu per meter. Kalau dikalikan dengan 30 km (30.000 m), maka total paling sedikit Rp 15 M.

"Mengeluarkan uang sebanyak ini untuk keperluan publik (tugas negara) juga sangat kontradiktif dengan kondisi ekonomi nelayan yang memprihatinkan sekarang ini," ujarnya.

Ketiga, pagar laut dianggap pemecah ombak juga tidak memecah ombak justru juga tidak masuk akal lagi. Karena faktnya telah merusak ekosistem. "Apalagi kalau dikatakan pagar laut dari bambu itu untuk pemecah ombak, maka makin kontradiktif alias tidak rasional lagi," katanya menambahkan.

Ketika dihubungi Republika beberapa hari lalu, pria yang aktif mendampingi warga pesisir Tangerang itu meminta pemerintah berani menindak tegas, termasuk Ombudsman RI yang sudah turun ke lapangan memeriksa dan menyimpulkan ada dugaan maladministrasi terkait pagar laut tersebut. Ia tidak tahu menahu mengapa pagar itu tak jua dicabut padahal melanggar aturan.

Republika sebelumnya sempat mengunjungi salah satu lokasi pagar-pagar laut itu yang terletak di perairan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Bambu-bambu mulai ditancapkan di laut sekitar 500 meter hingga satu kilometer dari muara kali.

Di laut, bentuk pagar bambu itu beragam. Ada yang ditancapkan satu  per satu. Ada juga yang dibuat semacam koridor dengan jaring di sampingnya dan anyaman bambu yang bisa dilangkahi.

Bentuknya tak sepenuhnya memanjang menyusuri kontur tepian pantai. Ia juga tak sepenuhnya mengular sepanjang 30 kilometer. Pagar-pagar itu merupakan segmen-segmen terpisah yang merentang dari ujung ke ujung perairan utara Kabupaten Tangerang.

Nurdin, salah satu ketua kelompok usaha bersama nelayan di Kronjo, mengatakan mereka sudah memertanyakan tujuan pagar itu sedari mulai berdiri sekitar tiga bulan lalu. Saat itu tak ada penjelasan serta permisi kepada para nelayan terkait pembangunan pagar.

Setelah didesak, sejumlah pihak akhirnya membeberkan maksud pembangunan pagar tersebut. “Iya, kata orang dinas itu buat patok. Jadi bentuknya macam peta nanti kalau difoto pakai drone,” ujar Nurdin di Kronjo, Jumat (10/1/2025).

Ia juga mengetahui bahwa “pagar-pagar” itu tak dimaksudkan berdiri secara permanen. Selepas pemetaan, pagar-pagar itu akan dibiarkan hancur. “Itu sudah ada yang rusak dibiarin saja. Katanya memang buat difoto saja, nanti habis itu nelayan terserah lagi mau pakai lautnya,” ujar dia.

Sementara Dulrasid, nelayan lainnya mengatakan, pemasangan patok-patok di lautan itu hampir bersamaan dengan pembebasan lahan yang marak setahun belakangan. Saat sawah-sawah yang dibeli dari warga mulai diurug lima bulan lalu, saat itu juga patok di laut mulai ditancapkan.

Patok bambu ditanam di Tanjung Kait, Ketapang, PLTU, Penyawakan, Pulau Cangkir, sampai Tenara. Sementara sawah-sawah yang diurug mulai dari Kampung Gaga, Pagedangan Ilir, sampai Muncung. “Kalau malam kita dengar gruduk-gruduk,” ujarnya menggambarkan pengurugan.

Salah satu nelayan, di Desa Karang Serang, yang namanya enggan disebutkan, mengaku bahwa dampak dari keberadaan pagar bambu tersebut telah menutup akses lalu lintas para nelayan.

"Saat ini kami melaut malam, kami takut kalau kena pagar itu, nanti kami diminta ganti. Makanya kami selalu hati-hati banget kalau lewat," katanya, di Tangerang, Jumat.

Menurut dia, keberadaan pemasangan pagar ini membuat nelayan setempat kesulitan untuk mencari ikan di laut. Bahkan, setiap nelayan agar bisa melaut harus memutar jauh ke lokasi mencari ikan lain.

Selain itu, kata dia pula, adanya pagar itu membuat para nelayan di Kampung Bahari Karang Serang pun sudah tidak mendapat ikan yang layak.

"Saat angin kencang kami takut ke tengah laut karena ombak besar, jadi kami cari ke pinggiran. Tapi sekarang enggak bisa karena ada pagar itu. Untuk menebar jaring enggak bisa karena nyangkut pagar. Di tempat pagar itu kita bisa dapat udang, kerang, dan rajungan," ujarnya pula.

Anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengatakan, Ombudsman RI melalui Kantor Perwakilan Banten telah melakukan Investigasi Atas Prakasa Sendiri (IAPS) tentang pemagaran laut di bibir pantai Kronjo.

Baca Juga


Hery menyampaikan, pagar bambu yang dipasang tanpa izin tidak hanya menghalangi pergerakan kapal nelayan, tetapi juga mengganggu aliran air laut dan merusak habitat laut. Sehingga banyak ekosistem yang terganggu karenanya.

Kerusakan ekosistem ini dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan laut dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut di wilayah tersebut.

Pengakuan JRP...

 

Koordinator JRP, Sandi Martapraja di Tangerang, Sabtu mengatakan jika pagar laut itu  dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya. "Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," katanya.

Menurutnya, tanggul laut dengan struktur fisik yang memiliki fungsi cukup penting dalam menahan terjadinya potensi bencana seperti abrasi. Pertama, mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai dan merusak infrastruktur.

"Kedua, mencegah abrasi, mencegah pengikisan tanah di wilayah pantai yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman. Kemudian mitigasi ancaman tsunami, meski tidak bisa sepenuhnya menahan tsunami," ucapnya.

Ia mengungkapkan, bila kondisi tanggul laut yang baik, maka area sekitar pagar bambu dan di sekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai tambak ikan. Dan ini memberikan peluang ekonomi baru dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

"Tambak ikan di dekat tanggul juga dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang. Tanggul-tanggul ini dibangun oleh inisiatif masyarakat setempat yang peduli terhadap ancaman kerusakan lingkungan," ungkapnya.

Bantahan Agung Sedayu

Pengembang PSN PIK 2 Agung Sedayu Group (ASG) membantah banyaknya tuduhan mengenai pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer (km) di pesisir Tangerang, Banten. Termasuk juga mengenai informasi dugaan kehadiran pagar laut itu dilakukan untuk pemetaan lahan.

Kuasa Hukum Agung Sedayu Group Muannas Alaidid menyampaikan bantahannya atas sejumlah informasi yang diperoleh Republika atas kesaksian dari warga di kawasan pesisir Tangerang, Banten.

Mulai dari mengenai adanya informasi dari warga Pulau Cangkir bahwa sudah ada pembebasan lahan sejak setahun belakangan, yang diduga terkait dengan pembangunan PIK 2 yang dilakukan pengembang. Muannas menilai Pulau Cangkir tidak masuk dalam kawasan pengembangan, karena dinilai bukan daratan.

“Kalau tadi saya konfirmasi (manajemen ASG), enggak ada, itu fitnah semua. Gak ada pembelian (untuk pembebasan lahan) di situ,” Muannas kepada Republika, Sabtu (11/1/2025).

Kemudian mengenai kesaksian warga dari Tanjung Pasir sampai Kronjo yang menyampaikan bahwa pagar laut nantinya akan menjadi pembatas reklamasi PIK 2. Muannas pun membantah adanya perluasan PIK sampai ke kawasan tersebut.

“Enggak betul. Fitnah,” tegasnya.

Lalu, termasuk juga informasi dari warga yang menyampaikan bahwa pagar laut yang terbuat dari bambu itu dibangun untuk pemetaan lahan.

“Fitnah!” tegasnya kembali.

Muannas menegaskan bahwa tidak ada keterlibatan klien-nya, ASG, dengan kehadiran pagar laut ‘misterius’ tersebut, seperti yang dituduhkan.

“Saya tegaskan, berita terkait adanya pagar laut itu (dikaitkan dengan pengembang PSN PIK 2) tidak benar,” kata dia.

Menurut penuturan Muannas, berdasarkan informasi yang diperoleh, pembangunan pagar laut itu justru dibangun oleh masyarakat sekitar. Ia menyebutkan beberapa dugaan kepentingan warga sekitar dalam melakukan pembangunan pagar laut tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler