Jerawat Membandel Bisa Sebabkan Depresi, Bahkan Picu Bunuh Diri
Jangan anggap sepele masalah jerawat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jerawat bukan hanya berpengaruh pada kesehatan secara fisik. Jerawat membandel ternyata juga dapat berdampak pada psikososial orang yang menderitanya, mulai dari depresi hingga keinginan bunuh diri.
"Jerawat itu never ending story (kisah yang tak kunjung usai)," ujar
ahli dermato venereologi dr Fitria Agustina SpKK dalam acara DermLive by La Roche Posay di Jakarta, dikutip Selasa (19/7/2022).
Dr Fitria mengatakan banyak penelitian yang sudah terpublikasi mengatakan jerawat berpengaruh pada kualitas hidup. Kondisi ini biasanya terjadi pada jerawat remaja.
"Mulai dari rasa malu, kemudian mengurung diri tidak mau bertemu dengan orang lain. Anak juga bisa depresi ringan, depresi berat, bahkan sampai usaha untuk bunuh diri," paparnya.
Senada, Head of Marketing Active Cosmetics Division L’ORÉAL Indonesia, Nestya Sedayu menjelaskan sebanyak 97 persen orang berjerawat memiliki dampak pada kehidupan sehari-hari. Selain itu, 53 persen orang berjerawat pernah alami stres atau depresi. Sekitar 50 persen dari mereka cenderung mengisolasi diri dari kehidupan sosial.
"Bisa karena komentar orang lain atau bisa dari diri sendiri, karena mempertanyakan mengapa jerawat muncul lagi," ujarnya.
Segera tangani
Jerawat merupakan salah satu dari delapan penyakit tersering dialami banyak orang. Secara global sebanyak 9,4 persen orang di dunia pernah mengalami jerawat.
Sebanyak 80 sampai 85 persen remaja pernah mengalami jerawat. Secara spesifik di Indonesia, sebesar 46 persen masyarakat Indonesia memiliki masalah wajah berjerawat.
Bagi banyak remaja dan orang dewasa, masalah kulit berjerawat menjadi beban yang mempengaruhi kepercayaan diri dan kualitas hidup sehari-hari. Meskipun terbilang masalah kulit paling umum, sering kali jerawat ditangani dengan kurang tepat padahal dapat memengaruhi kualitas hidup orang yang mengalaminya.
Melihat kondisi tersebut, dr Fitria menyarankan agar masalah jerawat ini segera ditangani. "Jangan anggap sepele masalah jerawat," ujarnya.
Dr Fitria menyarankan dokter sebaiknya menganalisis pengaruh jerawat pada psikososial pasiennya. Jika jerawat ini berdampak pada psikososialnya, sebaiknya dokter memberikan edukasi.
"Pasien jerawat tidak akan sekali datang, seminggu kontrol, dua minggu kontrol, dilihat apakah membaik atau tidak. Jika membaik, oke, jika memburuk perlu dikonsultasikan kepada psikolog. Ini agar jerawatnya tidak semakin buruk," ungkap dr Fitria.
Oleh karena itu, langkah yang paling penting adalah analisis kulit yang akurat untuk diagnosis jerawat yang tepat sesegera mungkin. Dengan begitu, tingkat keparahan jerawat dan terapi yang paling sesuai dapat ditentukan.
"Pengobatan yang tepat waktu dan sesuai dengan kondisi kulit akan memberikan hasil optimal sehingga kualitas hidup lebih baik," kata dr Fitria.
Selain itu, mengobati jerawat sedini mungkin diiringi terapi yang tepat dapat menurunkan risiko terjadinya acne scar (jaringan parut bekas jerawat). Menurut dr Fitria, jika jaringan parut makin kecil, maka kualitas hidup pun jadi lebih baik.