Calon Hakim Adhoc HAM Dicecar Soal Integritas dalam Sesi Wawancara
Salah satu panelis mengaku cukup puas dengan kompetensi calon hakim adhoc HAM.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) menggelar tahapan seleksi akhir calon hakim adhoc HAM berupa wawancara pada Rabu (20/7/2022) yang diikuti oleh 33 peserta di Pusdiklat MA, Bogor. Para hakim yang lolos seleksi akan segera menyidangkan kasus HAM berat Paniai berdarah di Pengadilan Makassar.
Proses wawancara ini dibagi menjadi enam kali per peserta dengan panelis berbeda. Para panelis terdiri dari unsur internal MA yaitu Brigjen TNI (Purn) Tama Ulinta Br. Tarigan, Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan, Andi Samsan Nganro, Suhadi, dan unsur eksternal MA adalah eks hakim MK Dewa Gede Palguna serta mantan anggota Komnas HAM Roichatul Aswidah. Masing-masing peserta menghabiskan waktu sekitar 15 menit per sesi wawancara.
Salah satu panelis, Brigjen TNI (Purn) Tama merasa cukup puas dengan kompetensi sebagian peserta. Ia optimistis sebagian dari peserta mampu menjadi hakim adhoc HAM dilihat dari semangat, integritas dan kemauan belajarnya.
"Ada lah sebagian yang cukup mumpuni, namanya pengadilan (HAM) baru masih banyak belajar tapi mereka sudah punya motivasi yang baik. Mereka sudah punya bekal yang cukup," kata kepada Republika usai menuntaskan sesi wawancara pada Rabu.
Tama mengamati sebagian peserta sebenarnya punya kapasitas dan kemampuan. Hanya saja, mereka perlu diberi sedikit pencerahan lebih dulu oleh Tama. "Ada sebagian yang meyakinkan, sebagian lagi ragu-ragu (jawabannya) jadi harus dipancing," ujar Tama.
Dalam proses wawancara, Tama mendapati peserta yang jawabannya memuaskan mengenai pengalaman menunjukkan integritas. "Misal ada advokat yang bilang bisa berintegritas itu perlu saya pertegas lagi, ternyata pengacara ada ucapan yang spontan keluar dari hati. Dia bilang menolak diminta klien temui hakim dan panitera kasus," lanjut Tama.
Selain soal integritas, Tama menanyakan perihal esensi pengadilan HAM. Ia menemukan ada peserta yang belum memahaminya.
"Itu yang ingin saya tahu bahwa hakim HAM itu ada kekhasan. Kenapa prajurit tidak disidangkan (kasus HAM berat) di pengadilan militer. Karena di pengadilan sipil lebih dipercaya," ucap Tama.
Walau demikian, Tama menyayangkan ada peserta yang justru terlihat grogi hingga tak bisa menjawabnya dengan tegas dan jelas. Sehingga ia bingung apakah peserta tersebut punya kemampuan jika dipilih sebagai hakim adhoc HAM.
"Kalau saya cecar saya maunya dicecar lagi (oleh peserta). Kalau dicecar diam saja, menunduk, menatap saya nggak berani, saya penasaran mereka tahu atau nggak," singgung Tama.
Dalam pantauan Republika, ada peserta yang memang kesulitan menghadapi pertanyaan Tama. Tama yang meminta pertanyaannya dijawab detail, justru hanya dijawab normatif oleh sebagian peserta. Jawaban seperti itu membuat Tama harus memancing peserta agar menghadirkan jawaban yang lebih konkret.
Contohnya, saat Tama menanyai soal kode etik hakim justru ada peserta yang hanya menjawab poin intinya saja seperti adil dan integritas tanpa menjabarkannya. Tama lantas meluruskan peserta agar menjawab lebih rinci dengan menyertakan pengalaman mengamalkan nilai adil dan integritas.
"Bagaimana saudara memagari diri dari intervensi?" tanya Tama. "Kita tidak menerima intervensi dari yang lain," jawab salah satu peserta wawancara, I Made Kantikha yang merupakan purnawirawan Jenderal TNI.
"Hilangkan loyalitas sebagai prajurit. Teguh dengan prinsip pribadi," ucap Tama mencotohkan jawaban yang diharapkan dari Kantikha.