ADB Potong Proyeksi Pertumbuhan Negara Berkembang Asia Jadi 4,6 Persen

ADB juga memangkas perkiraan pertumbuhan 2023 negara berkembang Asia jadi 5,2 persen.

pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi. Bank Pembangunan Asia (ADB) memangkas perkiraan pertumbuhan negara-negara berkembang Asia untuk 2022 pada Kamis (21/7/2022) menjadi 4,6 persen dari 5,2 persen.
Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Bank Pembangunan Asia (ADB) memangkas perkiraan pertumbuhan negara-negara berkembang Asia untuk 2022 pada Kamis (21/7/2022) menjadi 4,6 persen dari 5,2 persen. Pemangkasan ini cerminkan memburuknya prospek ekonomi karena ketegangan geopolitik, pengetatan moneter yang lebih agresif di negara-negara maju, dan pandemi Covid 19.

Baca Juga


Dalam suplemen untuk Asian Development Outlook 2022, publikasi ekonomi tahunan unggulan bank, ADB juga memangkas perkiraan pertumbuhan 2023 untuk negara berkembang Asia menjadi 5,2 persen dari 5,3 persen. Bank yang berbasis di Manila ini memangkas perkiraan pertumbuhan 2022 untuk Asia Timur dari 4,7 persen menjadi 3,8 persen; perkiraan pertumbuhan Asia Selatan diturunkan dari 7,0 persen menjadi 6,5 persen untuk 2022 dan dari 7,4 persen menjadi 7,1 persen untuk 2023.

Perkiraan 2022 untuk Asia Tenggara sedikit ditingkatkan dari 4,9 persen menjadi 5,0 persen karena permintaan domestik diuntungkan dari pencabutan pembatasan mobilitas Covid-19 yang berkelanjutan dan pembukaan kembali perbatasan di beberapa ekonomi di sub-kawasan tersebut.

Prospek pertumbuhan Kaukasus dan Asia Tengah dinaikkan dari 3,6 persen menjadi 3,8 persen untuk 2022 dan dari 4,0 persen menjadi 4,1 persen untuk 2023. Prospek pertumbuhan tahun ini untuk Pasifik direvisi dari 3,9 persen menjadi 4,7 persen.

Prakiraan inflasi untuk negara berkembang Asia dinaikkan dari 3,7 persen menjadi 4,2 persen untuk 2022 dan dari 3,1 persen menjadi 3,5 persen untuk 2023 karena harga bahan bakar dan pangan yang lebih tinggi.Namun, ADB mengatakan tekanan inflasi di kawasan itu lebih rendah daripada di tempat lain di dunia.

ADB menambahkan gangguan pasokan dan meningkatnya sanksi yang dikenakan pada Rusia telah meningkatkan harga-harga komoditas global dan tetap lebih tinggi dari level yang sudah meningkat pada 2021, yang menyebabkan peningkatan tekanan inflasi di banyak ekonomi regional.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler