Great Teacher Onizuka, Pendidikan Humanis dan Kurikulum Merdeka
Dari Great Teacher Onizuka belajar tentang pendidikan humanis dan kurikulum merdeka.
Bilal Ramadhan, pendidik dan aktivis pendidikan
REPUBLIKA.CO.ID, Saat itu, sekitar 1999, saya baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), tak sengaja melihat sebuah serial kartun Jepang di stasiun televisi Indosiar. Memang saat itu, jumlah stasiun televisi masih terbatas. Apalagi yang menayangkan acara serial kartun mungkin selain Indosiar, juga ada RCTI.
Dan serial kartun Jepang ini sangat membekas di hati saya hingga saat ini. Acara kartun itu namanya Great Teacher Onizuka atau kerap disingkat dengan GTO. Saya sudah terpesona sejak episode pertama serial GTO tersebut. Namun entah kenapa, serial kartun tersebut hanya ditayangkan beberapa episode saja. Selebihnya dihentikan karena dengan alasan, serial tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai kultur di Indonesia. Serial tersebut juga katanya menampilkan kekerasan dan juga pronografi.
Namun sejak menonton GTO, saya mulai membayangkan bagaimana jika memang ada guru yang seasyik dan segila Onizuka dalam kehidupan nyata. Apakah mungkin ada guru yang mau berbaur dengan siswanya? Apakah mungkin ada guru yang mau capek-capek ikut menyelesaikan masalah siswa-siswanya di luar sekolah? Apa mungkin ada guru yang di balik sikap ‘slengeannya’, tapi juga menaruh perhatian yang besar kepada siswa-siswanya?
Bisa dibilang menonton beberapa episode serial GTO bisa mengubah sikap dan karakter saya. Dulu saya kecil, tak pernah terpikirkan untuk menjadi guru. Sama sekali. Tapi seorang Onizuka memberikan inspirasi, bahwa seburuk apapun seseorang di masa lalunya, dia bisa berguna buat orang lain.
Jangan bayangkan seorang Eiikichi Onizuka ini merupakan guru baik dan teladan dengan misi suci untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Jangan. Karena kita akan kecewa jika sudah memiliki ekspektasi berlebihan untuk menonton serial ini.
Onizuka di masa lalu terlibat dengan geng motor. Saat dia di SMA pun, kehidupannya selalu terlibat dengan kekerasan. Hingga Onizuka kemudian dikenal sebagai pimpinan geng motor terkenal di salah satu kota di Jepang.
Karena Onizuka yang sudah berusia 22 tahun tapi hanya bekerja serabutan dan pekerjaan yang tidak tetap, dia menceritakan kepada seorang sahabatnya sejak masa sekolah bahwa dia tertarik untuk menjadi guru di Sekolah Menengah Atas (SMA). Tujuannya pun nyeleneh dan cenderung mesum. Dengan menjadi guru SMA, Onizuka berpikir bisa lebih dekat dengan anak-anak berusia menjelang dewasa. Onizuka juga berniat untuk menikahi perempuan berusia anak-anak SMA.
Hingga kemudian Onizuka melamar di satu SMA dan diterima, namun bukan di SMA, tapi Onizuka diminta kepala sekolah untuk mengajar kelas 3 SMP. Harapannya pun sempat hancur. Dia juga sempat berpikir untuk mundur dari pekerjaan sebagai guru.
Namun jiwa tantangan kembali meluap saat tahu dia menjadi wali kelas di satu kelas 3 yang ternyata sangat bermasalah. Beberapa wali kelas sebelumnya mengundurkan diri, dan bahkan wali kelas terakhir malah mengalami stres dan depresi karena menghadapi siswa-siswa di kelas tersebut.
Mengajar versi Onizuka
Sebelum diterima di sekolah tersebut, ada satu insiden dimana beberapa alumni sekolah membawa senjata dan mencari-cari wakil kepala sekolah di sekolah itu. Wakil kepala sekolah yang mengetahui Onizuka merupakan mantan anggota geng pun meminta pertolongan kepada Onizuka.
Beberapa alumni sekolah mengatakan wakil kepala sekolah telah membunuh mimpi mereka. Wakil kepala sekolah ini pun terus menerus menyebut mereka dengan istilah ‘sampah’. Melihat wakil kepala sekolah yang tidak sadar dan malah bangga dengan apa yang dilakukannya. Onizuka pun kesal. Dia langsung menghampiri si wakil kepala sekolah, meremas tubuhnya dengan kedua tangannya dan membanting tubuh wakil kepala sekolah ke arah belakang.
Sambil berjalan ke luar dari sekolah, Onizuka mengatakan jika menjadi guru malah kemudian menjadi mimpi buruk untuk siswa, buat apa dia menjadi guru. “Kalian panggil orang sampah, seakan-akan mereka benda. Mengapa kekerasan verbal ini dibolehkan? Karena guru-guru seperti kalian, anak-anak ini dikeluarkan dari tempat aman mereka. Jika kalian sebut ini pendidikan, aku tak ingin jadi guru. Kutolak dengan senang hati”.
Hal inilah yang kemudian kepala sekolah yang diam-diam memperhatikan Onizuka sejak sebelum wawancara sebagai guru di sekolah itu, memilih untuk menerimanya. Kepala sekolah mengatakan tidak sabar dengan perubahan yang akan terjadi di sekolah jika Onizuka menjadi guru di sekolah tersebut.
Gerakan membanting tubuh ke belakang yang dilakukan Onizuka merupakan teknik german suplex. Teknik ini merupakan salah satu gerakan dalam cabang olahraga gulat dengan mengangkat dan membanting tubuh lawan berlawanan dengan arah jarum jam.
Tetapi german suplex dalam konteks cara mendidik ala GTO adalah dengan berani menghadapi persoalan siswa satu per satu. Cara ini akan memberikan efek kejut bagi siswa, agar mereka memandang guru dengan cara pandang baru.
Onizuka memberi syarat bagi siswa yang butuh pertolongannya, untuk pertama-tama menjadi teman. Relasi guru-siswa dalam situasi tertentu, dikesampingkan lebih dulu, dan mengedepankan prinsip egaliter sebagai teman. Ketika menjadi teman, maka pertolongan bisa diberikan tanpa batas, dan bila perlu menerobos batas-batas tugas-pokok-fungsi guru.
Kalau beberapa tahun terakhir ini kita mendengar bahwa guru menjadi fasilitator belajar siswa, maka Onizuka melangkah lebih jauh lagi. Guru menjadi teman bagi siswa. Secara lisan tampaknya mudah, tapi realitasnya sulit.
Tidak banyak guru yang mau meluangkan waktu, tenaga, dan uang untuk mendampingi siswanya secara personal satu per satu. Dengan menjadi teman, berarti guru juga harus mau meletakkan superioritas dan senioritas mereka di depan siswa.
Di pihak sebaliknya, siswa juga harus mau menerima bahwa guru bisa saja membantu mereka menyelesaikan persoalan pribadi. Bahkan bila perlu, guru masuk dalam ranah kehidupan pribadi siswa.
Saat pertama kali Onizuka masuk ke kelas yang diampunya, ternyata tidak sesuai bayangannya bahwa siswa-siswa bermasalah ini akan berisik, tidak menghormatinya dan bahkan memberikan perilaku-perilaku yang tidak pantas di depannya.
Di kelas ini, ternyata siswa-siswanya diam, terlihat baik dan justru menghormati Onizuka yang pertama masuk menjadi wali kelas mereka. Ternyata mereka merupakan siswa-siswa yang mengerjai guru di belakang. Misalnya, keesokan harinya, ada foto Onizuka bersama beberapa wanita tuna susila (WTS) dengan pose tubuh yang sangat vulgar.
Foto ini hasil editan salah satu siswa di kelas itu yang memang dikenal ahlinya dalam berbagai hal yang berkaitan dengan komputer. Seluruh siswa dan juga guru percaya dengan hasil editan foto tersebut. Hal ini dimaklumi karena di tahun tersebut, komputer masih jadi hal yang langka. Sehingga foto-foto editan menjadi suatu keahlian yang sangat jarang dimiliki saat itu.
Apakah Onizuka marah dikerjai siswanya? Justru tidak. Dia malah mencari siswanya yang membuat foto editan tersebut. Setelah ditemukan, Onizuka justru meminta siswa tersebut membuat foto editan dia bersama tokoh-tokoh idola di Jepang sebanyak-banyaknya. Siswa ini pun mulai menaruh respect terhadap Onizuka.
Onizuka juga melakukan pendekatan yang berbeda saat menangani siswanya yang berupaya untuk bunuh diri. Siswa ini merupakan siswa laki-laki yang justru menjadi korban bullying dari tiga siswa perempuan di kelas yang diampu Onizuka.
Beberapa kali Onizuka menyelamatkan siswa tersebut yang ingin melompat dari atap sekolah, bahkan Onizuka pun ikut jatuh ke lantai 1. Setelah tahu siswa ini justru ahli dalam permainan game di komputer, Onizuka meminta siswa tersebut untuk taruhan main game komputer. Dan Onizuka pun tak pernah menang dan meminta siswa tersebut untuk mengajarkannya. Perlahan-lahan, Onizuka mengangkat motivasi siswa tersebut dari kelebihan yang dimilikinya.
Pendidikan Humanis
Di satu waktu, satu orang rekan sesama guru pernah menanyakan kepada Onizuka, “Apakah pak Onizuka tidak terlalu terbuka menunjukkan masalah-masalah pribadi kepada siswa-siswa?”. Dan dengan ringannya, Onizuka menjawab, “Sesekali siswa mengetahui kalau gurunya memiliki masalah sama seperti mereka, tidak ada salahnya. Guru bukan hanya mengajarkan pelajaran saja. Tapi guru juga bisa menjadi sahabat dimana membuat nyaman siswanya”.
Di balik sisi kontroversi dari serial kartun atau anime Jepang ini, sosok Onizuka ingin menghidupkan kembali sisi humanisme dalam pendidikan. Onizuka ingin menunjukkan seorang guru pun tak perlu malu untuk memperlihatkan sisi-sisi kelemahan dan kekurangannya. Onizuka tidak ingin menunjukkan sosok guru yang paling berkuasa, paling benar dan tak pernah salah, dan hal ini ada di sosok sang wakil kepala sekolah, yang dari awal pertemuan sudah memberikan aura permusuhan kepada Onizuka.
Onizuka juga tidak pernah melabeli atau memberikan judgement kepada siswa-siswanya. Tiap dia mendengar sesuatu tentang siswanya, dia akan mencari tahu kebenarannya dan kemudian mencari solusinya. Onizuka tetap melihat siswa-siswanya sebagai manusia. Sejalan dengan konsep memanusiakan manusia dalam dunia pendidikan.
Setelah menonton sosok Onizuka yang kontroversial, kemudian terbersit pertanyaan tentang pendidikan humanisme dan guru yang humanis. Apakah semangat-semangat dalam mendidik yang humanis di sosok Onizuka bisa kita tularkan ke siswa-siswa kita.
Istilah pendidikan humanisme muncul saat pendidikan sudah berjalan tidak di jalurnya. Pendidikan hanya berjalan satu arah, guru memberi materi dan siswa hanya menerima dan mendengarkan, guru selalu benar dan tidak bisa dibantah, siswa yang merasa terkekang, stres dan bahkan depresi terhadap proses pendidikan, siswa yang takut masuk sekolah dengan bayang-bayang hukuman dan masih banyak lagi. Sekolah menjadi sesuatu yang menyeramkan bagi siswa. Mengenyam pendidikan tidak lagi menyenangkan, tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan.
Pendidikan sering halnya muncul dengan wajah yang menakutkan, siswa dipandang sebagai objek pendidikan dan guru sewenang-wenang dalam hal proses pembelajaran sehingga menimbulkan terkendalanya proses kritis dan inofasinya siswa. Sering terjadi dewasa ini guru menghukum siswa dengan cara yang tidak manusiawi.
Sekolah seharusnya dapat menjadi benteng dalam mencetak karakter bangsa dan pengajaran harus dapat menumbuhkan potensi-potensi siswa yang beragam. Sehingga dapat mencetak anak-anak bangsa yang berkarakter. Maka dari itu perlu sistem pendidikan humanis sebagai solusinya.
Menurut ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya ialah pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Dalam mewujudkan pendidikan yang humanis, maka perlu dukungan penuh dari sekolah dalam menetapkan metode pendidikan humanis sebagai upaya untuk menghapus kekerasan yang terjadi pada sekolah, dimana sekolah merupakan tempat mengembangkan potensi, bakat serta membentuk karakter siswa yang baik.
Pembelajaran merupakan salah satu proses dalam menjalankan pendidikan, terdapat tiga lingkup komponen dalam membentuk pembelajaran, yaitu sumber, proses, dan produk. Instrumen untuk tercapainya tujuan pendidikan adalah kurikulum, kurikulum merupakan pedoman pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis tingkat pembelajaran, dengan adanya kurikulum pembelajaran akan terstruktur sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik.
Dalam hal ini, guru memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan seorang siswa melalui proses pembelajaran, dimana guru harus menciptakan pembelajaran yang kreatif, inovatif, aktif dan efektif. Namun terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran berdasarkan konsep pendidikan humanisme yaitu proses pembelajaran siswa lebih fokus pada pengembangan potensi siswa.
Metode pembelajaran ini lebih mengarah pada kemampuan siswa untuk menghafal materi yang diajarkan bukan untuk dianalisis. Sehingga pengembangan intelektual siswa tidak tercapai dan menciptakan generasi yang pandai secara teoritis, bukan yang cerdas dalam menganalisa.
Abraham Maslow sangat dikenal karena juga merupakan pelopor aliran psikologi humanistik. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini yaitu teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki lima macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).
Menurut Maslow, pendidikan yang humanis itu harus memenuhi lima macam kebutuhan ini. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang paling utama, misalnya dengan makan, minum, istirahat, bahkan kebutuhan untuk buang air kecil dan besar.
Pertanyaannya sekarang, apakah seluruh sekolah telah memenuhi kebutuhan fisiologis ini? Apakah siswa, dan juga seluruh warga sekolah, mendapatkan akses makan dan minum yang bersih dan layak? Apakah waktu istirahat sudah mencukupi? Apakah toilet di sekolah juga layak untuk siswa, guru dan seluruh warga sekolah? Karena jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka kebutuhan lainnya akan terhambat.
Guru dan Siswa Humanis
Penerapan pendidikan humanis akan menciptakan guru dan siswa yang humanis. Karena proses pembelajaran akan terjadi dua arah, saling memberikan empati, saling bertukar masalah dan berbagi solusinya dan yang paling penting tidak ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Guru menghargai siswanya, siswa menghormati gurunya.
Dalam pendidikan humanis, guru harus memperhatikan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan afektif siswa. Kebutuhan afektif adalah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi, dan moral.
Guru yang afektif bisa menjadi guru-guru yang humanis. Mereka mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan ataupun secara kelompok.
Ciri-ciri guru yang afektif dalam pendidikan humanisme antara lain:
a. Guru yang mempunyai persepsi bahwa siswanya mampu memecahkan masalah mereka sendiri dengan baik
b. Guru yang memprediksi bahwa siswanya mempunyai sifat ramah, bersahabat serta memiliki sifat ingin berkembang.
c. Guru yang menghargai siswanya.
d. Guru yang mempunyai persepsi bahwa siswanya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dari dalam dirinya sendiri. Dia melihat siswanya mempunyai kreativitas dan dinamika dan bukan orang yang pasif.
e. Guru yang menganggap pada dasarnya siswa dapat dipercaya dan dapat diandalkan.
f. Guru yang memandang siswanya dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya.
Bagaimana dengan siswanya? Pendidikan humanis membantu siswa dalam mengembangkan dirinya sesuai dengan potensinya. Bimbingan yang tidak mengekang siswa dalam proses pembelajaran mempermudah penanaman nilai-nilai yang memberi informasi mengenai hal yang positif dan negatif.
Proses dapat belajar berjalan lancar apabila siswa dapat menguji kemampuannya, pengalaman baru dengan membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat ancaman yang dapat menyinggung perasaannya. Belajar atas inisiatif siswa sendiri dapat memusatkan perhatian siswa baik pada proses maupun terhadap hasil belajar.
Kebebasan yang diusung dalam pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas nilai. Kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
Saat masih menempuh pendidikan tinggi, saya sempat mengajar mata pelajaran Sejarah di beberapa sekolah. Dan sempat mencoba untuk mengembangkan pendidikan humanis selama saya mengajar. Menurut saya, materi-materi di mata pelajaran Sejarah sangat bisa dikembangkan menjadi materi untuk pembentukan karakter atau character building.
Namun ternyata memang idealisme tak selalu sejalan dengan realita. Setelah beberapa kali menerapkan pendidikan humanis di kelas, saya menyadari, pendekatan ini membutuhkan banyak waktu. Sedangkan mata pelajaran sejarah sangat banyak materinya. Dengan melakukan pendidikan humanis, justru siswa-siswa saya ketinggalan materi pelajaran yang akan diujikan dalam ujian.
Kurikulum saat itu, dimana siswa ditekan untuk meraih nilai sebesar mungkin, menghapal sebanyak mungkin, mengutamakan hasil daripada proses pembelajarannya, sangat sulit untuk saya menerapkan pendidikan yang humanis. Justru saya malah merasa menjadi bagian dalam ‘lingkaran setan’ dalam mencetak siswa-siswa seperti robot.
Kurikulum Merdeka
Sejak Maret 2020 hingga saat ini, sekitar dua tahun, pembelajaran di sekolah dihentikan dan digantikan dengan pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ). Banyak anak-anak di generasi tersebut dinilai telah mengalami ketertinggalan pembelajaran atau learning loss. Sehingga mereka kesulitan untuk mencapai kompetensi dasar sebagai peserta didik.
Untuk mengatasi krisis pembelajaran, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kelima belas yaitu Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar pada februari 2022 lalu. Saat itu, Nadiem menilai perlu ada solusi untuk mengatasi krisis pembelajaran tersebut dan diyakini hal itu dalam bentuk Kurikulum Merdeka Belajar.
Nadiem juga memaparkan sejumlah keunggulan Kurikulum Merdeka. Pertama, lebih sederhana dan mendalam karena kurikulum ini akan fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Kemudian, tenaga pendidik dan peserta didik akan lebih merdeka karena bagi peserta didik, tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasinya.
Sedangkan bagi guru, mereka akan mengajar sesuai tahapan capaian dan perkembangan peserta didik. Lalu sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
Keunggulan lain dari penerapan Kurikulum Merdeka ini adalah lebih relevan dan interaktif di mana pembelajaran melalui kegiatan proyek akan memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual, misalnya isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter dan kompetensi Profil Pelajar Pancasila.
Satuan pendidikan dapat memilih tiga opsi dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka pada Tahun Ajaran 2022/2023. Pertama, menerapkan beberapa bagian dan prinsip Kurikulum Merdeka tanpa mengganti kurikulum satuan pendidikan yang sedang diterapkan. Kedua, menerapkan Kurikulum Merdeka menggunakan perangkat ajar yang sudah disediakan. Ketiga, menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar. Nadiem memastikan dengan Merdeka Belajar, tidak akan ada pemaksaan penerapan (Kurikulum Merdeka) ini selama dua tahun ke depan.
Kurikulum Merdeka yang diklaim mampu mendukung pemulihan pembelajaran akibat pandemi Covid-19 yang memunculkan learning loss ini, nantinya akan memiliki beberapa karakteristik. Pertama, pembelajaran berbasis projek (project based learning) untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Kedua, fokus pembelajaran pada materi esensial akan membuat pembelajaran lebih mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Ketiga, guru memiliki fleksibilitas untuk melakukan pembelajaran berdiferensiasi sesuai kemampuan siswa dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Secara idealnya, kita akan membayangkan Kurikulum Merdeka Belajar ini akan seperti pendidikan humanis seperti teorinya Abraham Maslow. Dengan Kurikulum Merdeka Belajar, pembelajaran akan berpusat untuk siswa, untuk kebutuhan siswa, untuk pemenuhan fasilitas, untuk menunjang siswa serta untuk menyalurkan minat dan bakat siswa.
Sekolah pun akan terbayangkan menjadi lebih ramah kepada siswa. Siswa diberikan porsi yang lebih banyak untuk menyuarakan pendapatnya dalam pengembangan sekolah. Siswa merdeka belajar yang diinginkan tanpa harus merasa ‘terintimidasi’ dengan pelajaran-pelajaran yang tidak disukai dan bahkan harus diujiankan dengan minimum nilai kelulusan.
Dan mungkin yang lebih revolusioner lagi, siswa dapat ikut serta dalam tiap kebijakan sekolah. Siswa bisa menentukan jam masuk dan pulang sekolah. Siswa, mungkin melalui OSIS, bisa ikut serta dalam rapat persetujuan anggaran sekolah. Siswa pun bisa ikut menentukan dan mengadakan pemilihan kepala sekolah secara demokratis. Jika semua itu diterapkan, saya tidak bisa membayangkan, bagaimana humanisnya sistem pendidikan kita nantinya.
Akan tetapi, saat ini, saya sebagai guru secara umum, pun masih merasa meraba-raba terkait teknis pelaksanaan dari Kurikulum Merdeka Belajar ini. Bagaimana nanti penerapan pelaksanaan di sekolah dengan fokus terhadap pengembangan minat dan bakat siswa.
Jika Nadiem memastikan tidak akan terjadi guru yang mengalami kekurangan jam mengajar, bagaimana memastikannya? Misalnya untuk mata pelajaran sejarah, saya akui, pelajaran ini bukan merupakan favorit untuk siswa-siswa pelajari. Mengingat begitu banyak materi yang diajarkan di mata pelajaran tersebut dan selama ini guru sejarah pun cenderung ‘memaksa’ siswa untuk menghapal seluruh materi agar memperoleh nilai sesuai kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Pertanyaannya lagi, sejauh apa sekolah mampu memfasilitasi bakat dan minat siswa? Mungkin sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap tidak akan banyak mengalami kesulitan. Bagaimana dengan sekolah kecil yang hanya menggantungkan seluruh operasional sekolah dari iuran siswa? Bagaimana mereka bisa memfasilitasi minat dan bakat siswa, jika sekolah terbelit masalah jumlah guru, bagaimana membayar gaji guru, bagaimana bangku dan meja di kelas tetap nyaman untuk siswa belajar. Hal ini tidak hanya terjadi di sekolah di daerah-daerah pedalaman saja, namun sekolah-sekolah swasta di kota-kota besar yang hidupnya kembang kempis masih banyak terjadi.
Belum lagi, masalah kesiapan guru dan sekolah dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka Belajar. Selama ini, guru tidak pernah memiliki pengalaman dalam pembelajaran merdeka, referensi terkait pembelajaran merdeka juga terbatas,serta perlu waktu untuk guru menerapkan kurikulum ini. Belum lagi, project based learning masih dianggap sebagai ‘barang langka’ bagi guru-guru saat ini.
Dengan waktu tersisa kurang dari satu bulan untuk tahun ajaran baru dan menerapkan kurikulum baru ini akan sulit. Memang Kemendikbud memberikan toleransi selama dua tahun dalam beradaptasi untuk menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar, mungkin hal ini perlu diimbangi dengan berbagai pelatihan untuk guru-guru, terutama di daerah-daerah, agar mudah dan merasa nyaman dalam penerapannya.
Yang pasti, dengan adanya Kurikulum Merdeka Belajar, saya melihat ada peluang sangat besar untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang mengutamakan proses belajar, bukan hasil. Sistem pendidikan yang memprioritaskan kebutuhan siswa, bukan menuntut siswa untuk berkompetisi atas nama sekolah. Sistem pendidikan yang memerdekakan, bukan justru malah membelenggu.
Seperti yang Onizuka katakan, “Sekolah harus menjadi tempat yang aman untuk anak-anak”.