Pertemuan Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir Digelar

Perang Rusia di Ukraina memicu kembali ketakutan konfrontasi nuklir.

BBC
Sisa senjata nuklir Ukraina di Museum (ilustrasi)
Rep: Lintar Satria Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Terdapat banyak masalah yang perlu dibahas dalam pertemuan yang menandai Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir yang harusnya digelar pada tahun 2020. Kini pertemuan yang tertunda pandemi itu akhirnya digelar Senin (1/8/2022).

Perang Rusia di Ukraina memicu kembali ketakutan konfrontasi nuklir. Konflik tersebut mendorong urgensi untuk memperkuat perjanjian yang sudah berusia 50 tahun itu.

"Ini masa yang sangat, sangat sulit," kata direktur eksekutif International Campaign to Abolish Nuclear Weapons Beatrice Fihn, Ahad (31/7/2022) kemarin.

Ia mengatakan invasi Rusia yang disertai referensi mengerikan senjata nuklir "sangat signifikan bagi perjanjian" dan memberi banyak tekanan pada konflik. "Bagaimana reaksi pemerintah pada situasi akan membentuk kebijakan nuklir di masa depan," katanya.

Pertemuan selama empat pekan bertujuan menghasilkan konsensus langkah selanjutnya. Tapi ekspektasi pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan cukup rendah.

Namun Presiden Swiss Ignazio Cassis, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama termasuk peserta yang hadir dalam pertemuan ini. Seorang pejabat PBB yang tidak disebutkan namanya mengatakan diperkirakan akan ada 116 negara yang akan mengirimkan perwakilannya.

Perjanjian Nonproliferasi Senjata Nuklir yang diberlakukan pada tahun 1970 merupakan perjanjian senjata paling banyak anggotanya. Sebanyak 191 negara bergabung dalam perjanjian ini.

Negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir berjanji untuk tidak memilikinya sementara negara dengan senjata nuklir seperti Inggris, China, Prancis, Rusia (Uni Soviet), dan Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menegosiasikan untuk menyingkirkan senjata mereka suatu saat nanti. Semua negara memiliki hak mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.

India dan Pakistan yang tidak bergabung mengembangkan senjata nuklir. Begitu pula dengan Korea Utara yang sempat meratifikasi pakta tersebut tapi kemudian mundur. Israel yang tidak menandatangani perjanjian itu diduga memiliki senjata nuklir tapi mereka tidak membantah atau mengakuinya.


Baca Juga


Saat menggelar invasi ke Ukraina pada Februari lalu Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan setiap upaya intervensi akan menimbulkan "konsekuensi yang tidak pernah dilihat sebelumnya". Ia juga menekankan negara "salah satu kekuatan nuklir paling kuat."

Beberapa hari kemudian Putin memerintahkan pasukan nuklir Rusia untuk meningkatkan kewaspadaan ke tingkat paling tinggi. Langkah yang Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres "mengerikan."

"Prospek konflik nuklir yang sebelumnya tak terbayangkan kini kembali ke ranah kemungkinan," katanya.

Mantan peneliti pelucutan senjata PBB Patricia Lewis mengatakan peristiwa di Ukraina menciptakan pilihan sulit dalam pertemuan nuklir. "Di satu sisi, demi mendukung perjanjian dan yang mereka dibela, pemerintah-pemerintah harus mengatasi ancaman dan perilaku Rusia," kata peneliti think tank Chatham House itu.

"Di sisi lain, juga beresiko memecah belah negara anggota perjanjian," katanya.

Perang Ukraina juga menimbulkan dinamika yang tidak nyaman lainnya. Terutama bagi negara-negara yang tidak memiliki nuklir. Ukraina pernah memiliki senjata nuklir tapi kemudian menyerahkannya ke Uni Soviet.

Peneliti dari lembaga think tank Brookings Institution Michael O’Hanlon mengatakan peserta pertemuan dapat menekankan strategi keamanan yang lain atau menekankan kerugian dan bahaya memiliki senjata nuklir. "Tapi penting untuk tidak terlalu berkhotbah," kata O’Hanlon.

"Gagasannya kami dapat berbicara langsung ke negara lain dan mengatakan 'kamu lebih baik tanpa bom' merupakan argumen yang sedikit keras terutama dilakukan sekarang ini," tambahnya.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler