Jurnalis Jepang Ditahan Saat Peliputan Demonstrasi
Pemerintah militer Myanmar telah menangkap sekitar 140 wartawan.
REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Jurnalis video Jepang Toru Kubota telah ditahan oleh pasukan keamanan di Myanmar saat meliput protes terhadap pemerintahan militer pada Sabtu (30/7/2022). Dia dibawa oleh polisi berbaju preman dan dimasukan ke dalam taksi.
"Ketika kami menyelesaikan pemogokan dan bubar, dia ditangkap oleh aparat keamanan berpakaian preman dan dimasukkan ke dalam mobil Probox," ujar Pemimpin kelompok Yangon Democratic Youth Strike yang mengorganisir protes tersebut Typ Fone.
Kendaraan tersebut biasanya digunakan oleh taksi di Yangon. Typ Fone mengatakan, mobil tersebut juga memiliki tanda taksi.
Pembuat film dokumenter yang berbasis di Tokyo ini ditangkap oleh polisi berpakaian preman setelah protes kilat di Yangon. "Dia mengambil gambar dengan kameranya dari jarak dekat dari aksi kami kemarin," katanya.
Selama pawai, sekitar selusin pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan menentang pengambilalihan militer. Tidak lama setelah itu, aksi tersebar ke kerumunan di jalan-jalan sekitarnya dan terjadi penangkapan, termasuk dua orang lainnya disamping Kubota.
Menurut portofolio pekerjaan, Kubota sering meliput konflik etnis, imigran, dan masalah pengungsi. Dia telah mencoba menyoroti kondisi komunitas yang terpinggirkan dan tersingkirkan. Dia pun telah bekerja dengan perusahaan media seperti Yahoo! News Japan, VICE JAPAN dan Aljazirah.
Hampir semua jurnalisme independen di Myanmar dilakukan di bawah tanah atau dari pengasingan. Pemerintah militer telah menangkap sekitar 140 wartawan, sekitar 55 di antaranya masih ditahan menunggu dakwaan atau persidangan.
Kubota adalah jurnalis asing kelima yang ditahan, setelah warga negara Amerika Serikat Nathan Maung dan Danny Fenster yang bekerja untuk publikasi lokal. Selain itu, pekerja lepas Robert Bociaga dari Polandia dan Yuki Kitazumi dari Jepang, yang semuanya akhirnya diasingkan.
Sebagian besar dari mereka yang masih ditahan mendapatkan tuduhan menyebabkan ketakutan, menyebarkan berita palsu, atau melakukan agitasi terhadap pegawai pemerintah. Tuduhan itu membawa hukuman hingga tiga tahun penjara.