Menyelami Nilai Kearifan Lokal di Situs Patirtaan Ngawonggo Kabupaten Malang
Suasana asri dan sejuk begitu terasa saat menginjakkan kaki di kawasan situs.
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Wilda Fizriyani/Jurnalis Republika
Malang memiliki banyak tempat bersejarah yang perlu ditelusuri untuk mendapatkan nilai edukasi dan kearifan lokalnya. Situs Patirtaan Ngawonggo termasuk salah satu lokasi bersejarah yang masih lestari hingga kini di Jalan Rabidin RT 04 RW 03, Dusun Nanasan, Ngawonggo, Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim).
Suasana asri dan sejuk begitu terasa saat menginjakkan kaki di kawasan Situs Patirtaan Ngawonggo. Di tempat itu terlihat begitu banyak pohon rimbun terutama bambu yang membuat suasana di lokasi terasa sejuk. Apalagi disertai suara aliran sumber air di Situs Patirtaan Ngawonggo yang memunculkan suasana semakin syahdu.
Juru Pelihara Situs Patirtaan Ngawonggo, Rahmad Yasin mengatakan, Situs Patirtaan Ngawonggo termasuk peninggalan bersejarah. Situs ini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang pada 2021 lalu.
Pria disapa Yasin ini mengatakan, keberadaan Situs Patirtaan Ngawonggo sebenarnya sudah diketahui masyarakat setempat sejak lama secara turun-temurun. Kemudian sekitar 24 April 2017, Yasin dan teman-temannya mencoba menengok keberadaan situs tersebut. "Karena sejak kecil, kami bersama teman-teman sering ke sana," kata pria berusia 30 tahun tersebut saat ditemui Republika di Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Selasa (2/8/2022).
Yasin dan teman-temannya juga sempat mengunggah Situs Patirtaan Ngawonggo ke media sosial. Tanpa disangka-sangka, unggahan tersebut mendapatkan respons dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur (Jatim). Selanjutnya, BPCB melakukan ekskavasi dan zonasi terhadap situs tersebut.
Berdasarkan hasil ekskavasi dan zonasi BPCB, situs tersebut diperkirakan berasal dari masa peralihan dari Kejaran Kediri dan Kerajaan Singosari. Bahkan, terdapat sejarawan setempat yang menduga situs tersebut berasal dari masa Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Medang.
Di kawasan Patirtaan Ngawonggo sendiri terdapat empat struktur utama dengan bentuk yang berbeda-beda. Aliran air yang berada di kawasan tersebut berasal dari mata air yang ditunjukkan untuk sungai irigasi yang telah dibangun sejak masa Belanda. Sebab itu, aliran air tersebut digunakan sebagai bantuan bercocok tanam pada masa lampau.
Untuk saat ini, aliran air di Situs Patirtaan Ngawonggo digunakan untuk bersuci atau ritual. "Intinya situs ini digunakan untuk sarana ibadah, ritual, untuk bersuci karena identik dengan air dan pancuran," kata pria yang tengah menggunakan baju hitam tersebut.
Secara keseluruhan, objek kawasan situs memiliki luas sekitar 1.000 meter persegi. Yasin memperkirakan ada banyak potensi cagar budaya lainnya di kawasan sekitar situs. Beberapa di antaranya seperti parit, saluran, anak tangga dan sebagainya, yang strukturnya tidak pernah diubah sejak dahulu.
Mulai dibuka untuk umum
Yasin dan warga sekitar mulai membuka situs untuk umum sekitar 2020 lalu. Lebih tepatnya sejak masa awal pandemi Covid-19. Saat itu, dia bersama warga setempat hanya berusaha menyuguhkan makanan dan minuman secara gratis untuk pengunjung situs.
Sebelumnya, warga sekitar telah menyiapkan tomboan di sekitar kawasan situs. Tomboan sendiri merupakan sarana dan prasarana yang dibangun secara swadaya masyarakat. Melalui tomboan, pengunjung bisa duduk sambil istirahat sembari menyaksikan aliran air di Situs Patirtaan Ngawonggo.
Konsep tomboan yang disajikan di Situs Patirtaan Ngawonggo sendiri bernuansa tempo dulu. Sebab itu, pengelola menyiapkan saung, kursi kayu, kendi, gelas serta piring enamel, sepeda ontel dan lain-lain.
Untuk bisa memasuki kawasan ini, pengunjung diwajibkan melakukan reservasi terlebih dahulu melalui nomor kontak yang tertera di Instagram Situs Patirtaan Ngawonggo. Dengan cara ini, pengelola setidaknya bisa menyiapkan sejumlah makanan dan minuman lokal untuk para pengunjung. Selain itu, pengunjung juga dapat memperoleh nilai edukasi terkait kearifan lokal dan peninggalan cagar budaya.
Yasin juga mengingatkan pengunjung untuk tidak membawa makanan dan minuman dari luar kawasan. Hal ini dikecualikan untuk makanan dan minuman untuk bayi.
Pengelola sengaja menerapkan aturan tersebut karena pembukaan situs ini pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan kesederhanaan. Kemudian juga untuk meminimalisasi penggunaan plastik di tempat. Dengan kata lain, pihaknya ingin meningkatkan kesadaran lingkungan kepada pengunjung.
"Dan kadang kalau bawa makanan dan minuman dari luar jadi buang sampah sembarangan. Untuk mengatur sampah, maka makanan sudah disediakan di sini, non-hewani," jelasnya.
Ada pun untuk makanan yang disediakan di tomboan Situs Patirtaan Ngawonggo berupa ketan, sawut, sayuran, dan makanan tradisional lainnya. Sementara itu, untuk minuman tradisional terdapat wedang, kopi dan lain-lain. "Jadi kami sediakan yang ada di sini. Pengunjung tidak bisa minta kecuali yang mau selamatan harus pakai tumpeng dan lain-lain," katanya.
Yasin juga menegaskan, tomboan Situs Patirtaan Ngawonggo bukan warung atau cafe. Pengelola hanya berperan sebagai penyedia sarana dan prasarana untuk tamu. Sebab itu, pengunjung tidak perlu membayar dengan nominal tertentu. Hal terpenting, tamu hanya perlu menyisihkan uang seikhlasnya di kotak yang telah disediakan di tempat.
Untuk jumlah kunjungan sendiri, Yasin memperkirakan, total ada 1.000an orang datang ke situs selama sebulan. Sebagian besar berasal dari Malang Raya tetapi ada pula pengunjung dari luar Malang Raya dan luar provinsi. Bahkan, sempat juga dikunjungi wisatawan asing meksipun tidak banyak jumlahnya.
Pada kesempatan sama, Pengunjung asal Pakisaji, Kabupaten Malang, Wulan mengaku baru pertama kali mengunjungi Situs Patirtaan Ngawonggo. Perempuan berusian 27 tahun tersebut mengetahui informasi situs tersebut dari teman kerjanya. Berdasarkan pengamatannya, kawasan situs termasuk tomboannya sangat bagus, asri dan memiliki nuansa tempo dulu.