Limbah yang Diolah Menjadi Makanan Khas Daerah

Limbah yang Diolah Menjadi Makanan Khas Daerah

retizen /Khafiza Nurriati
.
Rep: Khafiza Nurriati Red: Retizen

Siapa sih yang enggak kenal dengan makanan khas nusantara yang terbuat dari ikan? Makanan khas ini biasa kita kenal dengan sebutan petis. Ada berbagai macam jenis petis yang ada di Indonesia. Namun, petis dari daerah Rembang, Jawa Tengah ini berbeda dengan petis pada umumnya.


Memanfaatkan Limbah Nus

Jika petis pada umumnya terbuat dari bahan utama rebusan udang atau ikan yang dimasak sampai mengental seperti saus, lalu dikombinasikan dengan aneka rempah lainnya. Namun, di daerah Sarang, Kabupaten Rembang sendiri petis terbuat dari tinta nus yang dimanfaatkan menjadi petis. Desa Karangmangu, Kabupaten Rembang dikenal sebagai daerah penghasil makanan laut terbesar se-Jawa Tengah, lantaran semua masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan, sehingga memiliki produksi olahan makanan laut yang sangat lengkap, salah satunya yaitu petis nus. Orang rembang, khususnya Desa Karangmangu mengenal cumi-cumi dengan sebutan nus.. Tinta dari nus ini tidak hanya diolah menjadi petis saja, tetapi bisa diolah menjadi berbagai macam olahan lain, seperti kerupuk kulit nus, rujak petis nus, dan kerupuk petis nus.

Hari selasa (27/5/2022) saya berkesempatan untuk mengobrol melalui panggilan WhatsAap dengan Bu Yati, beliau merupakan salah satu warga Desa Sarang yang mengenalkan petis nus kepada khalayak luas. Saya sendiri mengetahui rujak petis nus ini dari teman satu kost, yang kebetulan bertetangga dengan beliau di Desa Sarang. Rujak petis nus tidak jauh berbeda dari rujak pada umumnya. Asin, pedasa, manis menjadi ciri khas dari rujak nus tersebut. Bedanya jika rujak yang biasa kita makan hanya menggunakan sambal kacang dan cabai rawit saja untuk sausnya, tetapi rujak di daerah Sarang ini sausnya ditambah dengan petis yang terbuat dari tinta cumi, kemudian di olah menggunakan tepung serta rebusan air ikan dan biasanya diberi tambahan pentol ikan. Meskipun di pasar Karangmangu menyediakan petis yang sudah jadi, namun Bu Yati memilih untuk mengolah petis tersebut secara mandiri.

“Untuk harga petis yang dikemas wadah aqua gelas itu harganya Rp7.000,00, Mbak. Tetapi saya biasanya membeli cairan nus yang belum dimasak ke para pengepul di TPI dan diolah sendiri.” Tutur Bu Yati.

(satu porsi rujak petis nus Bu Yati)

Bu Yati (40) mengaku bahwa terciptanya petis nus ini karena beliau melihat banyaknya limbah dari tinta cumi yang berserakan di TPI Desa Sarang. Pada awal pembuatan petis nus beliau sempat tidak percaya diri, sebab baru pertama kalinya di desa Karangmangu terdapat petis dari tinta cumi.

“Pada waktu itu terlintas dipikiran saya bagaimana kalau tinta nus atau cumi ini saya olah menjadi petis yang dicampur menggunakan tepung dan rebusan air ikan. Pas pertama saya bikin petis itu tidak percaya diri, Mba. Tetapi setelah jadi petis nus, saya suruh anak-anak saya, keluarga, dan tetangga saya untuk mencicipi dan mereka bilang enak. Lalu saya kombinasikan dengan rujak dan pentol ternyata tetangga pada suka. Mereka menyuruh saya untuk buka warung saja dan Alhamdulillah berjalan sampai sekarang.” Lanjut Bu Yati.

Tidak Pernah Sepi Pembeli

Warung rujak nus Bu Yati ini berada di tepi jalan raya, Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang. Bu Yati mengatakan dari awal berdirinya warung tersebut yaitu sejak tahun 2013 sampai sekarang tetap ramai pengunjung. Warung Bu Yati buka setiap hari, dari jam 09.00-17.00. Rujak yang dijual oleh beliau sangat ramah di kantong, yaitu mulai dari Rp3.000,00 sampai dengan Rp5.000,00. Dalam menjajakan dagangannya Bu Yati dibantu oleh tetangganya yaitu Mba Lut untuk melayani para pembelinyaa.

“Alhamdulillah dari awal membuka warung ini sampai sekarang pembeli selalu antre, Mbak. Karena saya satu-satunya penjual rujak yang mengombinasikan rujak dengan petis tinta nus.” Tutur wanita 43 tahun itu.

(warung Bu Yati yang selalu ramai pembeli)

Proses wawancara berjalan dengan lancar karena ibunya sangat ramah juga supel. Pada saat wawancara tiba-tiba terlintas dipikiran saya yaitu alasan Bu Yati menjual rujak dengan harga yang sangat terjangaku. Jawaban yang dilontarkan Bu Yati membuat saya tercengang. Meskipun tidak ada penjual lain selain dirinya, tetapi beliau tidak pernah mematok harga yang tinggi sebab beliau sadar jika dirinya berjualan di desa.

“Walaupun saya sendiri yang berjualan rujak nus tetapi tidak pernah mempunyai fikiran untuk memasang harga yang tinggi, Mba. Apalagi saya berjualan di desa juga dekat dengan pondok pesantren, jadi yang penting dagangan saya laku dan semuanya bisa merasakan.” Ujar Bu Yati.

Warung yang berdiri sejak tahun 2013 ini setiap harinya mampu menghabiskan 20kg buah dan 10kg adonan pentol ikan. Dalam sesi wawancara Bu Yati mengajak saya agar berkunjung langsung ke warugnya yang terletak di Kabupaten Rembang, agar bisa mencicipi semua makanan yang lain, seperti pentol ikan serta olahan yang terbuat dari bahan dasar tinta nus.

sumber : https://retizen.id/posts/169964/limbah-yang-diolah-menjadi-makanan-khas-daerah
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler