'Pencegahan Intoleransi di Dunia Pendidikan Tanggung Jawab Semua Pihak'

Para founding fathers kita sudah sepakat memiih demokrasi bukan teokrasi.

dokpri
Prof Siti Musdah Mulia
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pemaksaan menggunakan atribut agama tertentu bukan kali pertama terjadi dunia pendidikan. Oleh karena itu, masyarakat diajak bertanggung jawab terkait persoalan intoleransi, pemaksaan, diskriminasi, dan persoalan lainnya seputar politik identitas yang segregatif.


Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Prof Siti Musdah Mulia turut menyayangkan insiden yang terjadi beberapa waktu lalu. Ia  menilai kasus ironis serupa sejatinya akan terus berulang, mengingat hal ini terkait dengan persoalan budaya dan persoalan agama jika semua pihak tidak tegas dalam mencegah dan menangani persoalan intoleransi di masyarakat.

"Karena ini persoalan agama, persoalan budaya sehingga tidak bisa cepat kita mengatasi ini. Terlebih ini adalah soal keyakinan jadi kita tidak bisa melarang," ujar Prof Siti Musdah Mulia, di Jakarta, Sabtu (6/8/2022).

Dirinya melanjutkan, yang harus ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana pemerintah dengan segala sumber dayanya mampu menangani ini dengan serius, sistematis dan holistik dengan menanamkan nilai Bhinneka Tunggal Ika, dan memberi pengertian bahwa tidak ada benturan antara agama dengan Pancasila sebagai hasil pemikiran para founding fathers bangsa.

"Para founding fathers kita sudah sepakat memiih demokrasi bukan teokrasi, demokrasi itu adalah sebuah sistem di mana seorang mau menerima dan melihat orang yang berbeda sehingga tidak boleh ada pemaksaan. Paling tidak pemerintah harus berusaha menunjukkan keseriusannya," kata perempuan yang pernah menjabat Kepala Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama, Kementerian Agama RI tersebut,

Tidak hanya pemerintah, Musdah juga menilai upaya pencegahan intoleransi di dunia Pendidikan harus menjadi tanggung jawab semua pihak untuk memastikan bahwa agama yang beredar di masyarakat merupakan agama yang inklusif, toleran dan sesuai dengan Pancasila.

"Jadi kalau mengaku sebagai orang yang beragama maka kita harus toleran. Toleran itu nggak mesti meyakini dan setuju keimanan agama lain, tetapi dengan legowo menerima bahwa beragama adalah hak mereka atau hak orang lain," jelas wanita pertama yang pernah dikukuhkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan ini.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler