Perang Rusia-Ukraina Picu Eropa Sematkan Kecerdasan Buatan dalam Peralatan Perang
Peralatan perang harus menerapkan teknologi untuk membuat Eropa tetap cukup kuat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Perangkat militer merupakan kunci kedaulatan suatu bangsa. Oleh karena itu, perangkat tersebut harus bisa jadi perangkat yang canggih dan efektif agar bisa memberikan ancaman bagi lawan.
Dikutip dari Technology Review beberapa waktu lalu, kini pengembangan perangkat militer pun mulai merangkul teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Pengembangan ini awalnya dipicu oleh perang antara Rusia dan Ukraina.
Pada awal peperangan kedua negara itu, sebuah perusahaan analitik bernama Palantir mencoba membuka mata sejumlah bangsa di Eropa. CEO Palantir, Alexander Karp, mengatakan perang Rusia-Ukraina harus diantisipasi dengan melakukan pemutakhiran sejumlah perangkat perang.
"Peralatan perang harus menerapkan teknologi untuk membuat Eropa tetap cukup kuat. Seluruh bangsa harus merangkul hubungan antara teknologi dan negara," kata Alexander Karp.
Sejumlah negara pun mengamini rekomendasi tersebut. Pada 30 Juni 2022, North Atlantic Treaty Organization (NATO) menggelontorkan dana sebesar 1 miliar dolar AS untuk investasi pada startup dan dana modal ventura bagi pengembangan teknologi prioritas seperti AI, big-data processing, dan otomatisasi.
Kemudian, Inggris dan Jerman juga mengamini rekomendasi itu dengan mengembangkan strategi pertahanan yang melibatkan AI. Secara spesifik, Jerman menyiapkan anggaran 500 juta dolar untuk penelitian dan pengembangan AI.
Amerika Serikat (AS) sendiri juga mendapat dorongan dari National Security Commission on AI (NSCAI). Komisi tersebut menyebut bahwa AS perlu melakukan terobosan agar AI bisa banyak diterapkan pada perangkat perang pad 2025.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka NSCAI memperkirakan nantinya AS akan tertinggal oleh China. Agar hal itu tak terjadi, maka AS dinilai perlu meyiapkan investasi sebesar 8 miliar dolar AS per tahun untuk pengembangan AI dalam militer.
Gayung bersambut, AS pun menggubris dorongan tersebut dan telah menjalin kontrak dengan dua perusahaan rintisan dengan nama Anduril dan ScaleAI. Anduril sendiri mengantongi kontrak senilai 1 miliar dolar AS untuk sistem pertahanan otonom seperti drone bawah air. Sedangkan ScaleAI mengantongi kontrak senilai 250 juta dolar untuk data labeling services for AI.
Selain itu, Prancis juga melakukan hal serupa. Dikutip dari The Defense Post, Prancis membekali perangkat militer dengan big data dan platform AI yang dihadirkan sebagai intelligent systems dalam platform komunikasi dan informasi yang digunakan oleh militer Prancis. Pengembangan ini melibatkan 100 spesialis yang akan menghadirkan pemrosesan dan solusi informasi digital skala luas yang aman bagi militer Prancis.
Lewat platform bernama Artemis.IA yang mulai diterapkan tahun depan, Kementerian Angkatan Bersenjata Prancis akan memperoleh beragam informasi terkontrol dan aplikasi AI baru. Selain itu, plarform tersebut akan memungkinkan Prancis untuk bertindak secara mandiri di bidang intelijen, komando operasi, dan di ruang digital.