Stop Karhutla Butuh Solusi Tuntas
Kepala Daops Manggala Agni Sumatera Utara (MAS) II Anggiat Sinaga menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menghanguskan sekitar 49 hektare lahan di empat desa meliputi Sipitu Dai, Janji Martahan, Simulop, dan Sabulan di daerah itu, sementara hingga Senin (8/8) siang petugas masih mengupayakan pemadaman. (Republika.co.id)
Sejak memasuki 2022, wilayah di Indonesia memang sudah bersiap menghadapi bencana karhutla. Bahkan, lima provinsi di Indonesia, yakni Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat, sudah menetapkan status siaga darurat karhutla. Periode Januari—Juni 2022, luas karhutla di tingkat nasional mencapai 59.130 hektare.
Penyebab karhutla memang tidak tunggal. Namun, paling banyak adalah faktor manusia, terutama akibat pembakaran yang disengaja untuk pembukaan lahan oleh industri atau perusahaan.
Benar saja, pengelolaan hutla yang berpola sekuler kapitalistik neoliberal rupanya telah menjadi sumber bencana. Dengan dalih mendongkrak pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan, dan penciptaan lapangan kerja, pengelolaan mayoritas hutla telah diserahkan pada korporasi, baik lokal maupun multinasional. Inilah yang menyebabkan puluhan juta hektare hutla berubah menjadi objek eksploitasi dan kapitalisasi.
Di negeri ini maupun dunia internasional masih dicengkeram pola berpikir sekuler kapitalistik neoliberal. Pola inilah yang memunculkan sifat rakus dan tidak beradab, termasuk pada lingkungan yang dampak ekonomi dan sosialnya terbukti sangat besar, serta berjangka panjang.
Oleh karena itu, menyetop kebakaran hutan dan segala jenis problem lingkungan harus dimulai dari perubahan pola berpikir, yakni dengan mencampakkan pola sekuler kapitalistik neoliberal dan menggantinya dengan pola berpikir Islam.
Menurut Islam, hutan dan lahan adalah milik umum, bukan milik individu atau milik negara. Negara juga akan siap mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan iptek, sekaligus mendidik dan memberdayakan seluruh potensi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutla sehingga manfaatnya bisa dioptimalkan tanpa merusak kelestarian alam dan lingkungan.
Yulia Dwi P, S.Pd
Guru SMA Swasta
Plemahan Kediri