Israel-Gaza: Lagu Lama Perusahaan Media Sosial Bungkam Suara Palestina

Media sosial berperan bentuk pandangan publik tentang konflik Palestina-Israel.

twitter
Twitter Blue. Israel-Gaza: Lagu Lama Perusahaan Media Sosial Bungkam Suara Palestina
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Selama serangan terbaru Israel di Gaza yang menewaskan 44 orang, termasuk 15 anak-anak, para aktivis Palestina mengklaim raksasa media sosial telah terlibat dalam sensor digital. Ketika warga Palestina di Gaza berjuang menemukan perlindungan, para aktivis Palestina bergulat di ruang digital.

Baca Juga


Mereka berjuang agar perusahaan media sosial tidak lagi membungkam di platform digital. Penasihat advokasi 7amleh, Pusat Arab untuk Kemajuan Media Sosial, Mona Shtaya, mengatakan ini bukan fenomena baru.

“Ini telah terjadi selama bertahun-tahun dan berkontribusi membungkam suara kami serta membatasi kami untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan perang yang kami hadapi,” kata Shtaya.

Observatorium Palestina untuk Pelanggaran Hak Digital, proyek di 7amleh, didirikan untuk mendokumentasikan dan memberi perhatian pada pelanggaran hak digital yang dihadapi warga Palestina. Platform media sosial berperan penting dalam membentuk pandangan publik mengenai konflik Israel dan Palestina.

Belum lama ini, warganet Twitter membagikan bukti penyensoran oleh Instagram terkait gambar anak perempuan berusia lima tahun bernama Alaa Abdullah Riyad Qaddoum yang terbunuh selama serangan Israel di Gaza pada akhir pekan. Menurut Shtaya, campur tangan media sosial terhadap konflik yang terjadi membuat frustasi dan bukan hal yang bisa diterima.

Roket diluncurkan dari Jalur Gaza menuju Israel, di Kota Gaza, Ahad, 7 Agustus 2022. Hampir sepertiga warga Palestina yang tewas dalam bentrokan terbaru antara Israel dan militan Gaza mungkin telah terbunuh oleh roket yang salah. ditembakkan oleh pejuang Jihad Islam, menurut penilaian militer Israel yang tampaknya konsisten dengan pelaporan independen oleh The Associated Press. - (AP Photo/Hatem Moussa)

Di sisi lain, aktivis mengecam Twitter karena dugaan penyensoran postingannya. "Saya akhirnya diizinkan untuk men-tweet setelah hampir sehari penuh @Twitter mengunci akun saya dengan klaim melanggar aturannya ketika yang saya lakukan hanya melaporkan langsung kondisi #Gaza diserang," tulis @Omar_Gaza di akun Twitter-nya.

Human Rights Watch pernah mengecam raksasa media sosial Meta karena Facebook dan Instagram memadamkan konten yang diposting oleh warga Palestina saat membahas pelanggaran HAM di Israel dan Palestina.

Perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung memperlihatkan standar ganda yang diberlakukan oleh perusahaan media sosial besar. Awal tahun ini, Meta mengatakan pidato kebencian anti-Rusia akan diizinkan di platformnya.

"Dalam kasus Rusia-Ukraina, kita telah melihat bagaimana raksasa teknologi mengakui hak Ukraina untuk membela diri dan mengizinkan mereka menyampaikan ujaran kebencian terhadap politisi Rusia, tentara, dan presiden yang mendukung mereka dan hak-hak mereka," ucap Shtay.

Kebijakan media sosial semacam itu mencerminkan pemahaman tentang ketidakseimbangan kekuatan antara warga sipil yang menghadapi kekerasan di tangan otoritas negara yang jauh lebih kuat.

Sensor yang melelahkan

Dilansir MEE, Rabu (10/8/2022), dalam dua tahun terakhir, organisasi Shtaya, 7amleh, telah mendokumentasikan lebih dari 1.400 keluhan perusahaan media sosial yang membatasi konten terkait Palestina. Metode yang sering digunakan untuk membatasi konten Palestina adalah menangguhkan akun atau memaksa mereka menghapus postingan mereka.

Tentara Israel menangkap seorang pria Palestina selama bentrokan menyusul protes di pusat kota kota Hebron, Tepi Barat, 09 Agustus 2022. Tiga warga Palestina tewas, pada 09 Agustus, ketika tentara Israel meledakkan sebuah rumah yang mereka tinggali di kota tua kota Nablus di Tepi Barat, menurut sumber medis. Kementerian Kesehatan mengkonfirmasi kematian tiga warga Palestina yang dibawa ke rumah sakit dalam kondisi sangat kritis. - ( EPA-EFE/ABED AL HASHLAMOUN)

Shtaya mengaku para aktivis Palestina harus memikirkan cara baru agar bisa mendokumentasikan pelanggaran hak. “Sudah lama para aktivis mengubah cara mereka menulis kata-kata. Ini melelahkan dan tidak boleh berlanjut. Warga Palestina, seperti pengguna lain, seharusnya bisa menggunakan platform secara normal,” tuturnya.

Pemerintah Israel sangat mahir dan agresif dalam membuat perusahaan media sosial menghapus konten Palestina karena berusaha membentuk narasi online. Tahun lalu, Dewan Pengawas Meta merekomendasikan agar laporan disalurkan tentang moderasi konten mengenai Israel dan Palestina.

"Laporan ini harus jelas tentang bagaimana bahasa Arab dimoderasi secara berbeda dari bahasa Ibrani. Ini membuat orang Palestina menghadapi penegakan yang berlebihan pada platform ini,” tambahnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler