Remaja Ini Ungkap Pengalaman Mengerikan Saat Terinfeksi Amuba Pemakan Otak
Hampir semua kasus infeksi amuba pemakan otak berakhir mematikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebastian Deleon pernah terjangkit amuba pemakan otak ketika masih berusia remaja. Meski peristiwa tersebut terjadi sekitar enam tahun lalu, Deleon yang kini telah menjadi seorang mahasiswa masih ingat dengan jelas seperti apa buruknya gejala yang dia rasakan.
Peristiwa ini bermula ketika Deleon remaja memutuskan untuk berenang di sebuah telaga dekat rumahnya, di Weston, Florida. Kala itu, Deleon masih berusia 16 tahun.
Deleon mengatakan, pada waktu itu dia bermain cannon ball sebanyak dua atau tiga kali di telaga tersebut. Saat melompat ke perairan untuk melakukan cannon ball, Deleon tidak menutup hidungnya. Hal ini ternyata memungkinkan amuba bernama Naegleria fowleri masuk dengan mudah ke dalam hidungnya lalu menjangkiti otaknya.
Tak lama setelah itu, Deleon harus dirawat di rumah sakit karena mengalami gejala yang amat mengganggu. Proses pemulihan pun membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.
Naegleria fowleri merupakan amuba langka yang bisa ditemukan di air tawar bersuhu hangat. Naegleria fowleri merupakan jenis amoeba pemakan otak yang telah merenggut 150 jiwa warga Amerika Serikat menurut data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS).
Hampir semua kasus infeksi Naegleria fowleri mematikan. Deleon merupakan satu dari empat penyintas yang berhasil selamat dan bersedia menceritakan pengalamannya kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan.
Seperti apa gejalanya?
Deleon mengungkapkan, tak lama setelah berenang di telaga, dia merasakan sakit kepala. Akan tetapi, sakit kepala yang dia rasakan kala itu berbeda dari sakit kepala biasa. Tak hanya itu, rasa sakit yang muncul terasa sangat berat hingga dia tak bisa tahan bila ada orang yang menyentuhnya.
"Itu terasa seperti ada batu halus di kepala saya, lalu seseorang menekan batu tersebut ke bawah," ujar Deleon kepada Click Orlando, seperti dilansir Insider, Rabu (10/8/2022).
Deleon juga merasa seperti menaiki "roller coaster" yang terus berputar. Dan di saat yang sama dia seperti sedang mengunakan kacamata hitam meski tak ada sinar matahari yang terik.
Mengetahui hal ini, orang tua Deleon dengan cepat meyakini bahwa sakit kepala yang dirasakan anak lelaki tersebut bukan sakit kepala biasa. Oleh karena itu, orang tua Deleon dengan sigap membawa sang anak ke rumah sakit di hari yang sama saat gejala muncul.
Setibanya di rumah sakit, dr Humberto Liriano mengenali gejala yang dialami Deleon sebagai gejala primary amebic meningoencephalitis (PAM). PAM merupakan kondisi yang berkaitan dengan infeksi amoeba Naegleria fowleri.
Infeksi ini cukup umum terjadi si Florida dan Texas. Oleh karena itu, tim medis yang menangani Deleon telah memiliki kemampuan yang mumpuni dalam menangani masalah tersebut.
Mengingat sangat mematikannya kondisi ini, dr Liriano sempat meminta pihak keluarga untuk nenyampaikan salam perpisahan kepada Deleon. Di saat tang sama, tim dokter tetap melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa remaja tersebut.
Salah satunya adalah dengan menghubungi perusahaan farmasi Profounda yang merupakan satu-satunya distributor obat Impavido di Amerika Serikat. Impavido merupakan sebuah obat yang memiliki kemampuan menjanjikan dalam mengobati PAM.
Sekitar 12 menit setelah menerima permintaan tersebut, anak dari CEO Profounda Todd McLaughlan, langsung mengantar sendiri obat Impavido ke rumah sakit tempat Deleon dirawat. Tim dokter lalu menginduksi Deleon secara medis agar berada dalam kondisi koma untuk memprrlambat perkembangan infeksi. Hal ini akan memberikan waktu bagi obat untuk bekerja. Setelah 72 jam, Deleon kembali dibangunkan.
Deleon bisa bernapas sendiri sesaat setelah selang pernapasan dicabut. Deleon juga bisa kembali bicara beberapa jam setelah tersadar.
Dr Liriano kerap menangani pasien PAM yang tak selamat. Oleh karena itu, dia merasa sangat emosional ketika melihat Deleon berhasil selamat dari situasi yang sangat mematikan tersebut.
Tak hanya masa-masa kritis yang berat, Deleon juga harus melalui masa pemulihan yang panjang. Bagi Deleon, proses pemulihan di dua tahun pertama terasa cukup sulit.
Alasannya, Deleon kehilangan sebagian besar kemampuan motoriknya karena pembengkakan otak. Hal ini membuat Deleon harus menjalani rehabilitasi yang panjang agar bisa kembali berjalan, menulis, atau melakukan aktivitas dasar sehari-hari.
Deleon yang kini merupakan mahasiswa jurusan criminal justice mengimbau agar ada lebih banyak studi yang dilakukan mengenai PAM. Menurut Deleon, anak-anak yang bermain di telaga atau perairan tak seharusnya menghadapi risiko yang mematikan akibat amuba Naegleria fowleri.