Perpustakaan, Pustakawan, dan Generasi Pascamilenial
Perpustakaan digital untuk generasi Z dan Alfa adalah perpustakaan digital yang menembus batas model layanan perpustakaan konvensional.
Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Teori Generasi muncul sejak tahun 1952. Karl Manheim (1952) melalui buku “The Problem of Generations. Essays on the Sociology of Knowledge” berpendapat bahwa generasi merupakan realitas sosial yang di dalamnya terdapat sekelompok individu yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman kehidupan yang sama. Individu yang menjadi bagian dari satu generasi adalah mereka yang memiliki kesamaan tahun lahir dalam rentang waktu 20 tahun dan berada dalam rentang kehidupan sosial dan sejarah yang sama. Artinya, mereka mengalami peristiwa-peristiwa yang sama sehingga memunculkan karakter dan ciri kehidupan yang hampir sama.
Generasi yang paling popular disebut saat ini adalah generasi milenial. Frasa milenial dimunculkan pertama kali oleh William Strauss dan Neil (2000) melalui bukunya yang berjudul “Millennials Rising: The Next Great Generation”. Istilah ini sebenarnya muncul tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah. Mereka disebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000.
Elwood Carlson pada tahun 2008 menulis buku yang berjudul “The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom”. Menurut buku ini, generasi milenial adalah bayi yang lahir pada tahun 1983 sampai dengan tahun 2001. Sementara itu, Karl Mannheim (1952) berpendapat bahwa generasi milenial adalah generasi yang lahir pada tahun 1980 sampai dengan tahun 2000. Generasi milenial sering juga diberi label generasi Y. Label ini mulai dikenal dan dipopulerkan oleh berbagai media cetak negeri Paman Sam pada bulan Agustus 1993.
Generasi Y sangat menghargai perbedaan, lebih memilih bekerja sama daripada menerima perintah, dan sangat pragmatis ketika memecahkan persoalan. Memiliki rasa optimistis yang tinggi, fokus pada prestasi, percaya diri, percaya pada nilai-nilai moral dan sosial, menghargai adanya keragaman. S Lyons (2004) mengungkapkan karakteristik Generasi Y tergantung tempat ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarga, pola komunikasinya sangat terbuka, pemakai media sosial yang fanatik, mampu mengikuti perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi, sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan, dan memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan.
Sebelum generasi Y ada generasi X. Generasi ini menurut berbagai literatur memiliki tahun lahir 1960 sampai dengan 1980. Generasi ini cenderung suka akan risiko dan pengambilan keputusan yang matang akibat dari pola asuh dari generasi sebelumnya (Baby Boomers), sehingga nilai-nilai pengajaran dari generasi sebelumnya masih melekat. Karakteristik generasi ini ialah tertutup, sangat independen, mandiri, menghargai keragaman dan berpikir global. Mereka ingin menyeimbangkan antara pekerjaan dengan kehidupan, bersifat informal, mengandalkan diri sendiri, praktis dalam bekerja, dan senang bekerja dengan teknologi terbaru.
Generasi “Baby Boomers”, adalah generasi kelahiran tahun 1946 sampai dengan tahun1960. Generasi ini menjalani kehidupan pada masa perang dunia kedua. Setelah perang berakhir mereka bangkit untuk menata ulang kehidupan mereka. Angka kelahiran pada generasi ini sangat tinggi. Mereka adalah generasi yang idealis, kompetitif, dan selalu mencari peluang untuk melakukan perubahan dari sistem yang sudah ada. Generasi ini dihiasi dengan optimisme yang tinggi, pekerja keras, mengharap penghargaan, percaya pada perubahan dan kemampuan sendiri. Sebelum Generasi “Baby Boomers” ada generasi yang lahir kurang dari tahun 1946. Generasi tertua ini sering disebut dengan generasi veteran atau generasi tradisional.
Yanuar Surya Putra (2016) menulis bahwa setelah generasi Y terbitlah generasi Z yang lahir pada tahun 2001 sampai dengan 2010. Pola pikir generasi Z cenderung serba instan. Generasi Z dapat menjalankan sosial media menggunakan ponsel, menelusuri informasi di dunia maya menggunakan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset. Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil generasi ini sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian.
Terakhir adalah Generasi Alpha yang lahir pada 2010 hingga sekarang. Generasi ini adalah lanjutan dari generasi Z yang sudah terlahir pada saat teknologi semakin berkembang pesat. Mereka sudah mengenal dan sudah berpengalaman dengan gadget, smartphone dan kecanggihan teknologi lainnya ketika usia mereka yang masih dini. Generasi Z dan Alfa inilah yang disebut dengan generasi pascamilenial.
Perpustakaan
Terkait dengan layanan perpustakaan, menu apa yang dapat disajikan pustakawan kepada generasi pascamilenial ini? Apakah pustakawan akan menyuguhkan indeks, bibliografi, abstrak, dan ensiklopedia tercetak kepada generasi ini? Tentu peluang mereka untuk menimati menu sajian pustakawan model ini mendekati titik nol. Generasi ini tentu akan lebih memilih menu pencarian informasi di dunia maya yang lebih lengkap, lebih cepat, dan langsung bertemu dengan materi yang dicari. Google adalah ensiklopedia terlengkap di dunia yang mampu mengantarkan pengguna mencari informasi dalam bentuk teks, audio maupun video.
Apakah pustakawan akan mengajak generasi ini menuju lemari katalog yang terdiri dari katalog judul, katalog pengarang dan katalog subyek? Tentu tidak! Katalog tercetak hanya cocok untuk generasi tradisional dan Baby Boomers yang belum terbiasa menggunakan perangkat teknologi informasi. Pustakawan akan lebih nyaman mengajak mereka menelusuri katalog online (OPAC) yang dapat diakses dengan komputer maupun gadget baik melalui intranet maupun internet. Inilah urgensinya mengapa sebuah perpustakaan harus mengunggah katalog online melalui website agar siapa pun dapat mengakses secara tanpa batas.
Apakah pustakawan akan menyuguhkan perpustakaan digital kepada generasi Z dan Alfa ini? Tentu ya! Namun bukan perpustakaan digital yang menggunakan pakem perpustakaan konvensional alias tercetak. Menggunakan aturan layanan buku tercetak untuk buku digital adalah sesuatu yang aneh tetapi nyata. Era digital adalah era menembus batas. Tentu sangat terasa aneh kalau perpustakaan digital membatasi layanan kepada pemustaka dengan membatasi akses meminjam/membaca buku digital hanya dua judul saja. Bertambah aneh lagi ketika ada buku digital yang tidak dapat diakses gara-gara sudah dipinjam oleh pemustaka lain. Inilah yang disebut buku digital rasa buku cetak.
Perpustakaan digital untuk generasi Z dan Alfa adalah perpustakaan digital yang menembus batas model layanan perpustakaan konvensional. Google adalah contoh perpustakaan digital yang mampu menembus batas sehingga menjadi kegemaran generasi pascamilenial. Ini menjadi pelajaran bagi pustakawan dan semua insan yang bekerja di perpustakaan bahwa konsep perpustakaan digital itu adalah mampu meembus batas bukan membangun batas.
Bagaimana dengan menu buku cetak yang akan disajikan kepada generasi pascamilenial ini? Apakah tidak ada peluang untuk dicintai oleh generasi pascamilenial? Peluang itu tetap ada dengan syarat ada promosi yang terstruktur, sistematis, dan masif oleh pustakawan.dengan dukungan nyata para pejabat structural yang ada di lingkungan perpustakaan. Pustakawan harus rajin membuat ulasan buku (baca bukan abstraksi) yang menjadi koleksi perpustakaan. Hasil ulasan ini perlu diunggah di website perpustakaan dan diviralkan di media sosial agar menarik perhatian penghuni generasi pascamilenial.
Kehadiran buku cetak di perpustakaan adalah menu sajian wajib, internet dan buku digital adalah menu pelengkap. Menu pelengkap tidak diniatkan untuk menggantikan menu wajib. Generasi pascamilenial adalah generasi yang berpikir instan, cepat menemukan informasi tetapi kurang memiliki kedalaman berpikir. Membaca buku cetak adalah sarana untuk berlatih berpikir mendalam.
Nicholas Carr (2011) dalam buku The Shallows mengatakan bahwa internet memang memberikan kemudahan dan kesenangan, tetapi juga mengorbankan kemampuan berpikir secara mendalam. Membaca buku cetak membuat kita dapat memfokuskan perhatian, mendorong aktivitas berpikir mendalam dan kreatif. Sebaliknya, internet memaksa kita menelan informasi secara instan, cepat dan massal sehingga membuat pikiran kita mudah teralihkan. Kita terbiasa membaca serba cepat dan serba kilat menyaring informasi, tetapi kita juga kehilangan kapasitas untuk berkonsentrasi, merenung, dan berpikir mendalam.
Ulasan buku oleh para pustakawan merupakan bukti dan teladan bahwa para pengurus buku adalah sosok yang orang yang gila membaca, bukan hanya gila mengajak orang membaca saja. Begitu bukan?
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen