Membuat Senang Orang

Sejatinya menyenangkan orang lain tidak susah bahkan tidak perlu  modal.

Dok. Bumn
Pemberian santunan kepada Anak Yatim dalam kegiatan Safari Ramadhan.
Red: Irwan Kelana

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin


Dalam al-Mawaidz al-Ushfuriyah,  Syaikh Muhammad bin Abi Bakar mengutip hadits Nabi, "Siapa saja yang membuat senang saudaranya yang Muslim ketika di dunia, Allah ciptakan dari rasa senang itu sesosok malaikat yang melindunginya dari bahaya. Pada hari kiamat malaikat itu datang sebagai teman. Lalu apabila terjadi huru-hara kiamat yang membuatnya takut, malaikat itu berkata, "Jangan takut!" Orang itu bertanya, "Siapa kamu?" Malaikat menjawab, "Aku adalah rasa senang  yang kamu buat untuk saudara muslimmu ketika di dunia".

Secara praksis membuat senang orang itu terungkap dalam informasi Nabi, "Amal paling utama adalah membuat senang pada diri saudaranya yang mukmin. (Misalnya) kamu memberinya pakaian untuk menutup auratnya,  membuatnya kenyang saat lapar, dan memenuhi kebutuhannya" (HR. Thabrani).

Hadits ini memperlihatkan membuat senang orang itu dimulai dari memberinya kebutuhan sandang agar terbebas dari cuaca dingin dan panas, baru kemudian kebutuhan pangan yang memungkinkan seseorang mampu bekerja, selanjutnya kebutuhan papan,  seumpama rumah untuk berteduh.

Membuat senang sejatinya seumpama aqabah. Allah bertanya secara retoris, "Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sulit itu? (Yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir” (QS. al-Balad/90: 12-16). Berbeda dengan hadits di atas, pada ayat ini membuat senang orang didahului dengan memberinya kebebasan dari belenggu, baru kemudian diberikan makan pada tiga kelas sosial, yakni siapa saja yang lapar, anak yatim yang masih ada hubungan darah, dan orang miskin yang betul-betuk fakir.

Bersumber dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Nabi ditanya, "Amalan apa yang paling utama?" Nabi menjawab, "Kamu membuat senang saudaramu yang mukmin, atau kamu bayarkan utangnya, atau kamu memberinya roti" (HR  Ibnu Abi Dunya). Hadits ini menunjukkan spektrum lain membuat senang orang lain, yakni membayarkan utangnya. Sebab secara psikologis, siapapun akan sangat senang kalau utang-utangnya lunas. Namun tampaknya membuat senang itu tak pernah lepas dari persoalan konsumtif, seperti disebut Nabi dalam hadits ini, yakni memberi roti, atau memberi nasi.

Dalam kehidupan nyata, sejatinya menyenangkan orang lain tidak susah bahkan tidak perlu  modal. Orang akan senang kalau kita lebih dahulu tersenyum manakala kita bertemu. Siapa saja akan senang apabila diberi ucapan terima kasih, sebagai ekspresi dan penghargaan kebaikan yang diberikannya. Membuat senang orang bahkan tidak perlu menunggu sehat, saat sakit pun, kita bisa mendoakan orang yang datang membesuk. Karena doa orang sakit direspons Allah secara positif. Saat masih miskin, kita juga bisa membuat senang orang lain baik dengan doa, senyuman, dan tenaga kita. Banyak  cara membuat senang orang.

Setiap hari kita bisa membuat senang orang dengan kesenangan yang beragam. Untuk lebih rapi kalau perlu dibuat jadwal.  Pada hari Senin, misalnya, kita mentarktir kolega. Selasanya membayarkan ongkos gojeknya. Rabu kita bantu pekerjaannya. Kamis kita pinjami payung karena kita punya jas hujan. Jumat kita pinjami sandal jepit untuk shalat Jumat. Idealnya kita dapat membuat senang orang dengan kesenangan yang tidak sama kepada orang yang berbeda. Soal remeh-temeh ini berefek secara luar biasa,  dalam membangun kehidupan yang harmonis, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler