Hampir Setengah Penduduk Indonesia tidak Mampu Penuhi Kebutuhan Gizi Seimbang
Kebutuhan gizi seimbang tak terpenuhi picu meningkatnya obesitas di Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir separuh dari penduduk Indonesia nyatanya belum mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Kebutuhan pangan dengan gizi seimbang yang cukup mahal, menjadi kendala utama bagi masyarakat. Situasi itu pun berdampak pada meningkatnya obesitas lantaran konsumsi karbohidrat yang berlebih.
Direktur Kesehatan dan Ahli Gizi Masyarakat, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan (PPN/Bappenas) Pungkas Bahjuri Ali, menuturkan, masyarakat yang belum mampu mencukupi standar pola makan kalori hanya kurang dari 1 persen. Itu lantaran biaya yang dibutuhkan hanya Rp 3.392 per kapita.
Adapun, masyarakat yang belum mampu memenuhi pola makan gizi cukup sekitar 13 persen penduduk. Biaya yang dibutuhkan memenuhi gizi cukup yakni Rp 8.532 per kapita.
Sementara itu, untuk memenuhi pola makan gizi seimbang, Bappenas mencatat sekitar 40-50 persen masyarakat belum mampu memenuhinya. Pasalnya, biaya yang dikeluarkan juga cukup tinggi yakni Rp 13 ribu-Rp 15 ribu per kapita. Data itu menunjukkan, semakin bergizi makanan semakin mahal dan makin tinggi ketidakmampuan untuk membeli.
"Jadi di masa depan kita ada masalah besar, yaitu menyediakan makanan yang seimbang," katanya dalam webinar CIPS, Kamis (18/8/2022).
Ia mengatakan, akibat pola makan dengan gizi yang tidak seimbang, banyak masyarakat saat ini yang mengalami obesitas. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, 1 dari 4 penduduk dewasa di atas 18 tahun mengalami obesitas.
Sebanyak 29,3 persen perempuan dewasa dan 14,5 persen laki-laki dewasa mengalami obesitas. Pungkas menyatakan, obesitas saat ini menjadi penyebab utama kematian di Indonesia.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan, Badan Pangan Nasional (NFA), Rachmi Widiriani, mengatakan, salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini mengenai keberimbangan dalan konsumsi pangan.
Pihaknya mencatat, rata-rata komposisi karbohidrat harian masyarakat mencapai 60 persen sehingga terlalu besar. Di sisi lain, pemenuhan karbohidrat juga didominasi oleh beras dan terigu yang semestinya bisa menggunakan pangan lokal lain.
Di sisi lain, NFA juga akan lebih fokus menangani masalah kekurangan gizi yakni stunting dan wasting yang utamanya paling banyak terjadi di wilayah Maluku dan Papua.
"Ini menjadi salah satu wilayah yang kita konsentrasi bersama agar tidak terjadi situasi yang semakin buruk," katanya.
Persoalan stunting dan wasting menjadi ironi di saat angka obesitas yang tinggi. Data Bappenas menunjukkan, angka stunting pada 2021 sebesar 24,4 persen sedangkan wasting 7,1 persen.
Kendati tren data menunjukkan penurnan sejak 2007, pemerintah menargetkan pada 2024 stunting turun ke 14 persen dan wasting di level 7 persen.