Mahendraparvata Dibuat Dance Film, Kisahkan Sejarah Kerajaan Kamboja-Borobudur

Drama film 'Mahendraparvata' akan ditarikan oleh seniman tari Kamboja-Indonesia.

Dok BWCF
Seniman Seno Joko Suyono dari Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) mempersembahkan dance film Mahendraparvata.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) akan mempertunjukkan sebuah dance film sederhana yang berkaitan dengan sejarah Candi Borobudur dan kerajaan Kamboja. Seno Joko Suyono selaku penulis dramaturgi-skenario dari BWCF berencana menghadirkan dance film Mahendraparvata.

"Kami menghubungkan tari dan arkeologi," kata Seno.

Baca Juga


Dance film telah menjadi panggung baru bagi koreografer. Dalam sebuah dance Film, gerak, bloking-bloking, dan dramaturgi tari diambil dari sudut-sudut tafsir sinematik. Sementara itu, arkeologi juga bukanlah dunia asing bagi tari kontemporer Indonesia.

"Dance film yang berhubungan dengan arekologi tari kontemporer memang banyak, tidak asing, dan kami ingin meneruskan apa yang sudah dirintis itu," ujar Seno.

Banyak penari dan empu gerak seperti mendiang Suprapto Suryodarmo berproses dari candi ke candi, bahkan di lokasi-lokasi peninggalan megalitik. Sardono W Kusumo juga kerap melakukan eksplorasi di berbagai candi di Indonesia sampai kuil-kuil Jepang.

Seno berharap proyek Mahendraparvata bisa menjadi rujukan dance film dan diputar di banyak kampus tari. Ia ingin para pelaku seni terpancing saling berdiskusi mengingat dance film tengah naik daun.

Dance film Mahendraparvata menyajikan karya tari dengan latar situs situs arkeologis di kawasan perbukitan Phnom Kulen (Kamboja) dan kawasan Borobudur. Ditarikan oleh dua penari Kamboja dan dua penari Jawa, karya ini memetaforakan adanya hubungan Jawa kuno dan Kamboja kuno lewat perjalanan sepasang topeng.

Dalam studi arkeologi, hubungan Jawa dan Kamboja di masa kuno dapat diketahui dari terjemahan prasasti Sdok Kak Thom yang ditemukan di perbatasan Thailand dan Kamboja. Prasasti ini menjelaskan bahwa pada abad 8-9 M terdapat hubungan antara Jayawarman II, penguasa Kamboja dan Jawa.

Prasasti Sdok Kak Thom ditulis pada tahun 974 Saka atau tahun 1052 Masehi. Prasastinya terdiri dari 340 baris (194 baris ber bahasa Sanskerta, 146 baris berbahasa Khmer kuno).

Prasasti ini pernah diterjemahkan oleh George Cœdès, arkeolog Prancis yang khusus melakukan penelitian di wilayah Asia Tenggara. Dalam hasil terjemahan Coedes disebut bahwa Raja Jayawarman II, penguasa baru di Kamboja, pernah tinggal di Jawa beberapa waktu.

Setibanya di kawasan Phnom Kulen, Raja Jayawarman II melakukan ritual keagamaan untuk menahbiskan diri sebagai Chakravartin, penguasa jagad yang tidak tergantung lagi pada Jawa.

Jayawarman II menjadi raja pertama Kekaisaran Khmer pada tahun 802. Di bukit Phnom Kulen itu kemudian Jayawarman II mendirikan kota suci bernama Mahendraparvata.

Sampai sekarang masih terjadi perdebatan di kalangan arkeolog Asia Tenggara mengenai kata Jawa yang ada di Prasasti Sdok Kak Thom. Jawa yang tertulis di situ entah merupakan Jawa di Indonesia atau Champa (wilayah Vietnam sekarang).

Arkeolog yang menganggap kata Jawa di prasasti itu betul menunjuk Jawa di Indonesia memperkirakan Jayawarman II berada dalam lingkungan istana Syailendra selama berada di Jawa. Dia diperkirakan sempat melihat proses pembangunan Borobudur.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler