Kominfo Akui Pentingnya RUU PDP di Tengah Maraknya Kebocoran Data

RUU PDP ditargetkan bisa disahkan tahun ini.

Republika/Fauziah Mursid
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Semuel Abrijani Pangerapan dalam keterangan persnya di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (5/9).
Rep: Fauziah Mursid Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika membenarkan pentingnya Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) saat ini di tengah maraknya kebocoran data pribadi di Indonesia. Terbaru, dugaan kebocoran terjadi pada jutaan data registrasi kartu sim atau SIM Card.

"Memang saya katakan perlunya perbaikan regulasi (perlindungan data pribadi) ini kan bentar lagi kita selesai RUU PDP," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan dalam keterangan persnya di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (5/9/2022).

Semuel menjelaskan, saat ini RUU PDP masih dalam pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Namun demikian, Pemerintah menargetkan RUU ini bisa selesai dan disahkan pada tahun ini.

Apalagi, kendala yang menjadi alasan berlarut-larutnya pembahasan RUU ini yakni terkait kelembagaan disebut telah menemui kata sepakat. Hari ini juga, Komisi I DPR dan Tim Panja Pemerintah melakukan rapat pembahasan RUU PDP dengan agenda Laporan Timus dan Timsin kepada Panja.

"Mudah-mudahan segera selesai. Targetnya sampai masa sidang dari sekarang. Insya Allah selesai tahun ini itu harus ada regulasi yang lebih mumpuni," kata dia.

Pakar Siber dari Lembaga Riset Siber Indonesia CISSRec Pratama Dahlian Persadha sebelumnya juga menyinggung rentetan kebocoran data yang terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Mulai dari data perusahaan baik negara maupun swasta seperti PLN, Indihome, hingga terbaru dugaan kebocoran 1,3 miliar data registrasi kartu SIM masyarakat di Indonesia.

Pratama pun mengatakan, adanya rentetan kebocoran data ini menjadi pengingat mendesaknya kebutuhan Undang-undang perlindungan data pribadi yang belum ada di Indonesia. Hingga saat ini, Rancangan Undang-undang PDP masih dalam proses pembahasan DPR dan Pemerintah.

"Dengan kondisi di Indonesia yang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga tidak ada upaya memaksa dari negara kepada peneyelenggara sistem elekntronik (PSE) untuk bisa mengamankan data dan sistem yang mereka kelola dengan maksimal atau dengan standar tertentu," kata Pratama dalam keterangannya, Kamis (1/9/2022).

Pratama mengatakan, ketiadaan UU PDP ini membuat pengawasan perlindungan data pribadi masyarakat masih tidak jelas. Padahal, ancaman peretasan ini sudah terjadi secara luas.

"Akibatnya banyak terjadi kebocoran data, namun tidak ada yang bertanggungjawab, semua merasa menjadi korban, seharusnya PSE melakukan pengamanan maksimal, misalnya dengan menggunakan enkripsi/penyandian untuk data pribadi masyarakat. Minimal melakukan pengamanan maksimal demi nama baik lembaga atau perusahaan," kata Pratama.

"Karena selama ini selain tidak ada sanksi yang berat, karena belum adanya UU PDP, pasca kebocoran data tidak jelas apakah lembaga bersangkutan sudah melakukan perbaikan atau belum," tambahnya.

Dia menjelaskan, di Uni Eropa misalnya, ancaman denda bisa mencapai 20 juta euro untuk setiap kasus penyalahgunaan dan kebocoran data pribadi masyarakat. Dia menilai, adanya kebocoran data yang terus berulang ini akan merugikan masyarakat dan Indonesia

"Jadi publik perlu tahu, dan bila ini terus terjadi maka dunia internasional akan meningkat ketidakpercayaan pada Indonesia. Padahal Indonesia kini pemimpin G20, jangan sampai ajang G20 nanti dihiasi kebocoran data," katanya.


Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler