Temuan Sarjana Muslim Planet Kelilingi Matahari yang Tak Diakui Barat
Heliosentrisme tak lepas dari sumbangsih pemikiran sarjana Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Umumnya, orang-orang di masa kini menghubungkan heliosentrisme dengan ketokohan Nicolaus Copernicus (1473-1543 M). Bahkan, berbagai narasi mengeklaim, dialah ilmuwan pertama yang menggulirkan teori bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejak masih menimba ilmu di Akademi Krakow, Copernicus telah mencurahkan perhatian pada kajian astronomi.
Berbagai tulisannya tidak hanya mengundang kekaguman sesama ahli falak, tetapi juga skeptisme dan cemooh.
Respons negatif ditunjukkan kalangan akademisi yang taklid pada pemikiran Aristoteles dan Gereja.
Pada waktu itu, pemikiran Aristotelianisme dalam bidang fisika dan astronomi didukung otoritas agama Katolik di Eropa.
Gagasan filsuf Yunani kuno itu, yang kemudian dikembangkan Ptolemy, adalah bahwa bumi diam, lalu benda-benda langit bergerak mengitari bumi.
Hal itu berdasarkan pengamatan visual yang dimafhumi siapa pun yaitu matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam di barat.
Bagi kaum agamawan Katolik saat itu, geosentrisme sejalan dengan penafsiran mereka terhadap takdir. Dalam keyakinannya, manusia adalah pokok utama perhatian Tuhan. Karena itu, wajarlah kalau bumi menjadi pusat semesta.
Bahkan, ada anggapan yang lebih bias lagi, yakni bahwa semesta mengelilingi bumi karena di dalamnya terdapat mahkota Paus.
Siapa pun yang mendukung heliosentrisme otomatis menolak geosentrisme. Artinya, orang itu dapat dicap sebagai pengikut kebaruan (heresy) dalam doktrin Katolik.
Dan, hukuman atas pelaku heresy adalah dibakar hidup-hidup sampai mati. Sebagai contoh, nasib nahas yang menimpa seorang mantan biarawan, Giordano Bruno. Pada 17 Februari 1600 Gereja Katolik menjatuhkan hukuman final terhadapnya. Dia dibakar hidup-hidup hanya karena meyakini heliosentrisme sebagai sesuatu yang faktual.
Baca juga: Mualaf Maryum, Masuk Islam Setelah Empat Kali Baca Alquran
Copernicus sepertinya tidak ingin konfrontatif dengan otoritas Gereja. Barulah, pada 1540, sejumlah koleganya berupaya meyakinkan dirinya agar mau menerbitkan buku yang berisi pemikirannya dalam bidang astronomi.
Beberapa tahun kemudian, ilmuwan Katolik itu terserang strok. Dalam kondisi terbujur lemas akibat sakit, dirinya mengikuti saran mereka.
Pada Mei 1543 terbitlah De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bola Langit). Karya yang diluncurkan di Nuremberg (Jerman) beberapa hari menjelang kematian penulisnya itu menghebohkan masyarakat, khususnya para astronom dan pihak Gereja.
Sebab, di dalamnya, Copernicus menyatakan bahwa semua benda langit termasuk bumi berputar mengelilingi matahari.
Menurut Jerry Brotton dalam The Re naissance: A Very Short Introduction, Copernicus menjungkirbalikkan pemahaman tradisional Abad Pertengahan di Eropa mengenai peredaran benda-benda langit.
Publik umumnya kala itu meyakini geosentrisme Aristotelian sebagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan. Sama seperti judul buku karyanya, ilmuwan dari masa Renaisans tersebut mengobarkan sebuah revolusi dalam ranah ilmu falak.
Gagasan heliosentrisme hingga kini sering kali hanya disematkan pada ketokohan Copernicus. Padahal, para sejarawan modern telah menemukan adanya kemiripan antara konsep-konsep matematis yang ditulis dalam De Revolutionibus di satu sisi dan buah pemikiran para sarjana Muslim dari masa berabad-abad sebelumnya di sisi lain.
Jim al-Khalili dalam The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance mengatakan, kritik Copernicus terhadap Model Ptolemy begitu miripatau bahkan identik dengan penjabaran yang dilakukan sejumlah Muslim astronom, semisal.
Ibnu Syathir dan al-Thusi. Karena itu, anggapan bahwa ilmuwan itu sebagai pelopor teori heliosentrisme patut dipertanyakan.
Bahkan, jejak Islam tampak sangat jelas dalam De Revolutionibus. Al-Khalili membandingkan antara diagram yang terdapat dalam karya Copernicus itu dan kitab karangan al-Thusi.
Di buku yang terbit pada 1543 itu, astronom Polandia tersebut menampilkan sebuah model matematis untuk menunjukkan mekanisme yang memungkinkan gerak lurus muncul dari gabungan orbit-orbit.
Ternyata, lanjut al-Khalili, model matematis itu sama persis dengan diagram yang telah dibuat al-Thusi dua abad sebelumnya, yakni pada buku At-Tadzkirah fii 'Ilm al-Hayah.
Gagasan saintis asal Khurasan itu masyhur dengan sebutan Pasangan Thusi (Tusi couple), yakni mekanisme yang menghasilkan gerakan linier dari jumlah dua gerakan melingkar.
Baca juga: Niat Mualaf Sandra Belajar Islam untuk Memurtadkan Muslim, Malah Bersyahadat
Dalam kajian astronomi, hal itu dianggap mengatasi persoalan equant Ptolemy. Dengannya, al-Thusi hendak membukti kan rotasi bumi.
Bahkan, Copernicus diketahui hanya mengganti huruf-huruf Arab dalam diagram karya ilmuwan Muslim tersebut dengan huruf-huruf Latin untuk karyanya sendiri. Alif diganti menjadi huruf A, ba menjadi B, jim menjadi G, dal menjadi D, dan seterusnya. Hal itu dilakukannya tanpa sama sekali menyebutkan nama al-Thusi sebagai rujukannya dalam menulis De Revolutionibus.
Pengetahuan tentang model planet yang dikembangkan al-Thusi dan Ibnu al-Syathir sangat mungkin sampai ke Italia via Konstantinopel.
Copernicus barangkali bukan membaca At-Tadzkirah langsung dari bahasa Arab, melainkan hasil penerjemahan. Di kampus-kampus Eropa, termasuk Akademi Krakow tempatnya belajar, terdapat beberapa manuskrip tulisan kelompok astronom Mazhab Maragha.