Cara Berwudhu tanpa Melepas Alas Kaki atau Khuff

Islam memudahkan umatnya dalam berwudhu tanpa melepas alas kaki.

Yasin Habibi/Republika
Wudhu (ilustrasi). Cara Berwudhu tanpa Melepas Alas Kaki atau Khuff
Rep: mgrol135 Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam adalah agama kemudahan dan kesederhanaan, bukan kesulitan dan keketatan. Islam menetapkan keputusan yang sesuai untuk setiap kasus, yang memastikan pemenuhan tujuan dan kewajiban hukum tanpa ada rasa kesulitan.

Baca Juga


Ini berlaku untuk hukum wudhu yang ditetapkan oleh Allah SWT. Sebagai gambaran, terkadang ada sesuatu yang menutupi aurat yang dicuci saat wudhu yang sulit dihilangkan dan mungkin diperlukan sebagai pelindung, baik untuk kaki, seperti khuff (kaus kaki kulit, sepatu atau sejenisnya) atau untuk kepala (seperti serban dan sejenisnya), atau untuk melindungi luka atau sejenisnya seperti belat, perban, dan sebagainya.

Dibolehkan bagi orang yang berwudhu untuk hanya menyeka penutup tersebut ketimbang melepasnya dan mencuci apa yang ada di bawahnya. Ini adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, membebaskan mereka dari kesulitan dan kesempitan.

Adapun kebolehan mengusap khuff (dan sejenisnya, seperti kaus kaki) saat wudhu, daripada melepasnya dan mencuci bagian bawahnya, dinyatakan dalam banyak hadits shahih (riwayat shahih) Mutawatir (terus menerus berulang) bahwa Nabi SAW menyekanya baik di rumah atau dalam perjalanan. Nabi SAW memerintahkan untuk melakukan hal yang sama.

Mengenai dalil-dalil sahnya mengusap khuff, Al-Hasan ra berkata, “Saya diberitahu oleh tujuh puluh orang sahabat Rasulullah (saw) yang biasa dia usap di atas khuff-nya (dengan tangannya yang basah saat berwudhu).”

Mengusap khuff saat berwudhu

Perbuatan ini dibolehkan dan melakukannya lebih baik daripada melepas khuff dan membasuh kaki, karena yang pertama adalah tanda menggunakan izin yang sah dari Allah (swt), Yang Mahakuasa, mengikuti teladan Nabi dan bertentangan dengan para inovator agama. Menyeka khuff adalah penghapusan spiritual dari kotoran di bawahnya.

Dibolehkan bagi penduduk (bukan musafir) untuk tetap memakai khuff dan mengusapnya saat wudhu selama satu hari dan satu malam. Adapun seorang musafir yang secara hukum diperbolehkan memperpendek perjalanan shalat (yaitu bila tujuannya cukup jauh), jangka waktu yang dibolehkan adalah tiga hari tiga malam.

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ra, Nabi SAW ditentukan tiga hari (di mana seseorang dapat menghapus khuffsnya) untuk musafir dan satu siang dan malam untuk penduduk. Bagi keduanya (penduduk dan musafir), masa kebolehan mengusap khuff dimulai dari saat najis (disebabkan oleh buang air kecil, tinja atau angin) setelah memakai khuff, sebagaimana diperlukan najis ritual wudhu (untuk sholat). Namun sebagian ulama berpendapat durasinya dimulai dari wudhu pertama setelah dalam keadaan najis ritual.

Syarat-syarat mengusap khuff, kaus kaki, dan sejenisnya

1. Nabi SAW berkata kepada orang yang ingin membantunya dalam melepas khuffnya untuk berwudhu: “Biarkan mereka seperti yang telah saya lakukan setelah berwudhu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dengan demikian, sangat jelas bahwa hukumnya tergantung pada keadaan suci ketika memakai khuff, jadi jika seseorang dalam keadaan najis ketika memakainya, tidak boleh bagi seseorang untuk menghapusnya.

2. Khuff harus diizinkan, diperoleh, dan dibuat secara sah. Untuk memperjelas, jika mereka diambil dengan paksa, atau terbuat dari sutra (untuk laki-laki), tidak diperbolehkan untuk menyeka mereka saat wudhu. Singkatnya, izin legal tidak diterapkan pada apa yang sudah ilegal.

3. Khuff dan sejenisnya harus benar-benar menutupi kaki sampai mata kaki. Seseorang tidak dapat menyekanya kecuali jika cukup tebal dan menutupi bagian kaki yang akan dibasuh. Oleh karena itu, jika terlalu pendek untuk menutupi kaki hingga mata kaki, atau tidak cukup tebal untuk menutupi bagian bawahnya, maka tidak diperbolehkan untuk mengusapnya.

Karena dibolehkan mengusap khuff, maka dibolehkan menyeka penutup kaki apa pun, seperti kaus kaki yang terbuat dari wol atau bahan semacam itu, yang cukup tebal untuk menutupi bagian bawahnya. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa Nabi SAW mengusap kaus kaki dan sepatunya saat berwudhu. Sebagaimana tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa mengusap hal-hal seperti itu selama wudhu adalah sah sampai masa sah izin berakhir terlepas dari frekuensi melepas dan mengenakannya.

 

Mengenai serban, dibolehkan mengusapnya dengan dua syarat. Yang pertama adalah bahwa serban harus menutupi area kepala yang tertutup secara tradisional. Syarat kedua adalah serban harus dililitkan pada rahang bawah hingga kepala, satu putaran atau lebih, atau dengan ekor ke belakang.

Perlu disebutkan diperbolehkan untuk mengusap khuff dan turban hanya dalam kasus mensucikan dari keadaan najis ritual kecil, tetapi tidak najis besar. Adapun belat, perban, dan sejenisnya, dibolehkan menyekanya saat wudhu (tanpa melepasnya). Selain itu, seseorang diizinkan menyeka plester yang menutupi luka; semua penutup tersebut diizinkan untuk diusap asalkan hanya menutupi area yang terluka atau bagian yang diperlukan yang perlu ditutup untuk perawatan.

Namun, jika belat, perban, atau sejenisnya, tidak perlu menutupi lebih dari area yang terluka, bagian yang tidak perlu harus dilepas. Selain itu, dibolehkan mengusap bidai baik dalam keadaan najis kecil maupun besar, dan tidak ada batas waktu kebolehan mengusapnya.

Menyeka harus diterapkan pada bagian atas khuff atau kaus kaki. Adapun serban, sebagian besar harus dilap, terutama lipatannya. Namun, belat harus sepenuhnya diusap.

Mengusap khuff (selama wudhu) adalah dengan melewati jari-jari basah dari jari kaki ke arah kaki. Kaki kanan harus diusap dengan tangan kanan, dan sebaliknya. Juga, seseorang harus membuka jarinya saat menyeka, dan tidak boleh mengulangi menyeka. Semoga Allah membimbing kita semua kepada ilmu yang bermanfaat dan amal shaleh.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler