3 Pemicu Runtuhnya Peradaban Menurut Ibnu Khaldun, Tumpulnya Hukum Termasuk
Ibnu Khaldun memaparkan sejumlah faktor internal hancurnya peradaban
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Bangun dan jatuhnya sebuah peradaban dapat dilandasi banyak hal. Bagaimanapun, Ibnu Khaldun cenderung berkeyakinan, faktor internal lebih besar dibandingkan eksternal dalam memicu kehancuran masyarakat.
Ibnu Khaldun (1332-1406) merupakan seorang cendekiawan penting dalam sejarah keemasan Islam. Ilmuwan itu berjuluk Bapak Sosiologi karena kontribusinya dalam merintis disiplin tersebut. Salah satu karya monumentalnya adalah Kitab al-'Ibar.
Bagian awal buku tersebut berjudul Muqaddimah. Di dalamnya, Ibnu Khaldun menerangkan topik-topik utama ilmu sosial. Di antara pembahasannya adalah berbagai penyebab runtuhnya suatu masyarakat.
Ada banyak faktor internal yang menjadi pemicu runtuhnya peradaban yaitu antara lain sebagai berikut:
Pertama, sebuah negeri boleh jadi menghasilkan banyak pencapaian dalam pembangunan fisik. Namun, hal itu tidak berarti kemajuan ka lau penduduk setempat meng alami dekadensi moral. Sarjana Muslim tersebut menekankan pentingnya kualitas sumber daya insani di atas kekayaan material.
Kedua, tumpulnya hukum. Menurut Ibnu Khaldun, perbuatan maksiat yang dilakukan orang per orang di dalam masyarakat tidak seketika meruntuhkan peradaban suatu negeri. Namun, bila maksiat dilakukan pihak raja atau penguasa, itulah jalan mulus untuk kehancuran total.
Dia menyoroti hukum yang tidak berdaya di hadapan kelom pok elite, yakni pemimpin beserta kroni dan keluarganya. Tajamnya hukum hanya dirasakan oleh rakyat biasa. Rasulullah SAW bersabda:
إنَّما أهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ، أنَّهُمْ كَانُوا إذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وإذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أقَامُوا عليه الحَدَّ
“Sungguh, kebinasaan orang-orang sebelum kalian disebabkan mereka enggan menindak tegas kalangan terhormat yang mencuri, tetapi menghukum orang lemah yang mencuri.”
Ketiga, solidaritas luntur. Ibnu Khaldun mengajukan konsep asabiyah. Para ilmuwan modern kerap menyamakan terminologi itu dengan rasa kebangsaan atau solidaritas sosial.
Di suatu negeri, asabiyah bisa buyar jika kebanyakan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai kegemaran bermewah-mewahan. Dampaknya akan lebih parah lagi apabila mereka memiliki komitmen yang rendah terhadap ajaran agama.