Pernikahan Anak di DIY Capai Ratusan Per Tahun
Pernikahan anak tertinggi dilaporkan di Kabupaten Gunung Kidul.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pernikahan anak di bawah umur atau di bawah 19 tahun masih sangat tinggi di DIY. Bahkan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY (DP3AP2) DIY menyebut, jumlahnya mencapai ratusan tiap tahunnya.
Ketua Tim Ahli Kajian Pernikahan Anak DP3AP2 DIY, Warih Andan Puspitasari mengatakan, masih tingginya fenomena pernikahan anak di bawah umur ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi DIY.
Warih menjelaskan, pada 2019 tercatat jumlah perkawinan anak di bawah umur di DIY mencapai 394 kejadian. Jumlah tersebut naik 200 persen pada 2020 yang tercatat sebanyak 948 kejadian.
"2021 turun, tapi jumlahnya tidak signifikan, angkanya 757 kejadian. Hal ini jadi PR dan tantangan bagi kita semua sebagai warga DIY," kata Warih di DP3AP2 DIY, Yogyakarta, Jumat (16/9/2022).
Data-data tersebut didapatkan dari kajian yang dilakukan terkait fenomena pernikahan anak di bawah umur di DIY. Dari data yang didapatkan pada 2021, pernikahan anak di bawah umur tertinggi dilaporkan di Kabupaten Gunung Kidul yakni sebanyak 153 kejadian.
Sedangkan, di Kota Yogyakarta tercatat sebanyak 50 kejadian pernikahan anak di bawah umur. Di Kabupaten Sleman tercatat 147 kejadian, di Kabupaten Bantul tercatat 94 kejadian dan di Kabupaten Kulon Progo tercatat sebanyak 49 kejadian.
"Persentase pernikahan usia dini 2020 sebesar tiga persen dan di 2021 turun dua persen," ujar Warih.
Warih menuturkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan masih tingginya pernikahan anak di bawah umur di DIY. Kehamilan di luar nikah, katanya, menjadi faktor paling besar terjadinya pernikahan anak di bawah umur ini.
Selain itu, kurangnya pemahaman terhadap regulasi pernikahan anak juga menjadi faktor lainnya yang menyebabkan tingginya pernikahan anak di DIY. Dari kajian yang sudah dilakukan, kata Warih, ditemukan 90,1 persen pelaku pernikahan anak tidak mengetahui regulasi tentang batas usia pernikahan anak.
"Juga kurangnya pemahaman di bidang kesehatan, faktor sosial, pergaulan bebas di kalangan remaja, faktor ekonomi, budaya atau agama, kurangnya pemahaman regulasi dan pengaruh pemanfaatan informasi teknologi juga menjadi faktor tingginya pernikahan anak di bawah umur," tambahnya.
Sementara itu, ahli dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Umi Listyaningsih mengatakan, perlu dilakukannya edukasi yang masif terkait dengan pernikahan anak di bawah umur ini. Pihaknya, kata Umi, juga terus berupaya memberikan edukasi dan sosialisasi kepada perempuan terkait hal ini.
Termasuk, memberikan dorongan kepada pelaku pernikahan anak di bawah umur untuk tetap melanjutkan pendidikannya. Pasalnya, kata Umi, banyak dari pelaku pernikahan anak di bawah umur ini yang pendidikannya berhenti.
"Kami di kelompok pemerhati perempuan itu sudah berusaha untuk memberikan kesetaraan kepada perempuan korban pernikahan usia dini, dorongan untuk terus belajar. Itu (pelaku pernikahan di bawah umur) boleh melanjutkan studinya. Cuma kita merasakan psikologis anak-anak itu (ada yang) malu untuk melanjutkan pendidikan, ini yang jadi persoalan. Solusi yang bisa dilakukan kejar paket," kata Umi.