Toko Banzai, Doris Day, dan Kerajaan Kelinci di Pasar Baroe
Pasar Baru riwayatma kini
Pasar Baroe dibuka tahun 1820. Di samping toko-toko tempat berjualan tekstil dan barang-barang keperluan sehari-hari juga ada tempat untuk jualan ayam di ujung utara blok timur. Masih blok timur tak jauh dari pasar ayam ada pasar kelinci. Penyanyi Lilies Suryani tahun 1970-an sempat salah prakira dalam lyric lagunya yang sempat beken Gang Kelinci, Lilies menduga dulunya itu kerajaan kelinci.
Setelah Perang Dunia I banyak dibuka toko-toko orang India, salah satunya Toko Bombay. Sejak itu toko orang India dimana pun disebut Toko Bombay.
Menjelang PD II di Pasar Baroe muncul pula toko-toko orang Jepang, salah satunya Toko Banzai. Ternyata di kota-kota besar di Jawa juga muncul toko-toko Jepang. Biasanya mereka membuka Photo Studio.
Awak toko Jepang berpenampilan rapih. Mereka berdasi.
Tak jelas nasib toko-toko Jepang setelah mereka kalah dalam PD II.
Tahun 1950-an Pasar Baru selain tempat belanja juga tempat santai yang popular. Orang sudah cukup terhibur dengan jalan-jalan sambil meihat-lihat dari ujung ke ujung Pasar Baru. Telinga pun terhibur mendengar lagu-lagu Doris Day dan Jullie London yang diputar gramophone Toko Tio Tek Hong.
Itulah kehidupan jaman Demokrasi Liberal yang sering di maki-maki Orde Lama.
Tanpa ada larangan, pada waktu kampanye pemilu 1955 tak ada partai yang tempel tanda gambar di dinding toko. Juga tak ada spanduk yang digantung di jalan Pasar Baru. Ini baru yang disebut disiplin social .
Jaman Orde Lama nama-nama toko bahasa asing harus diIndonesiakan. De Zon toko di Pasar Baru yang paling besar dan ramai pengunjungnya harus ganti nama. De Zon bahasa Belanda.
Juru parkir tetap bilang atret, dari bahasa Belanda 'achteruit' = mundur.
Kalau kondektur sesuai jaman Orla yang gemar akronim. Di tengah penumpang yang berdiri bersesakan sedangkan kondektur harus kutip ongkos, maka ia berjalan selap-selip sambil teriak "durkit, durkit". Itu akronim mundur sedikit.
Pembesar kini juga suka ke pasar-pasar. Jalan-jalan keliling pasar perlu bila setelahnya membuat evaluasi. Hendaknya jangan sekedar ayun dengkul atau dalam ungkapan Betawi, adu dengkul léwa-lewa.
Belakangan ini saya pernah berjalan-jalan di Pasar Baru. Hatiku terluka dilanda sepi.
Penulis: Ridwan Saidi, Budayawan Betawi dan Sejarawan,