Pemerintah Diminta Waspadai Ancaman Kedaulatan di Laut Natuna Utara

Kedatangan nelayan dan penjaga pantai salah satu strategi China pertahankan Natuna.

ANTARA FOTO
jumlah kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020) dini hari. Sikap nonkompromi dan nonnegosiasi pemerintah Indonesia dengan China dalam isu di perairan Natuna dinilai sangat tepat.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap nonkompromi dan nonnegosiasi pemerintah Indonesia dengan China dalam isu di perairan Natuna dinilai sangat tepat. Sikap tersebut perlu dipertahankan dan dibarengi dengan upaya yang terkoordinasi dalam menjaga hak berdaulat di wilayah yang termasuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. 

Baca Juga


Hal tersebut disampaikan pengamat internasional dari Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto. Ia menanggapi kabar kembalinya kapal penjaga pantai beserta kapal-kapal nelayan China di Kepulauan Natuna Utara pada 12 September. 

Johanes menyatakan ketegangan antara Indonesia dan China di perairan Natuna Utara terkait dengan tumpang tindih klaim wilayah di Laut China Selatan, yang menjadi sengketa antara China, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam negara yang terlibat dalam sengketa di atas. 

Namun pada tahun 1993, China memaparkan sebuah peta yang memperlihatkan klaim yang menurut China didasarkan pada sejarah. Klaim kewilayahan itu ditandai dengan sembilan garis putus-putus, yang kini lebih dikenal dengan sebutan 'nine-dash line'.

"Di sanalah problem antara Indonesia–China mulai muncul, salah satu garis putus-putus tersebut berada di wilayah ZEE Indonesia di dekat kepulauan Natuna," kata Johanes kepada wartawan, Sabtu (17/9/2022). 

Johanes mendapati Indonesia sebenarnya telah berupaya meminta klarifikasi dari China. Tetapi China hanya mengatakan Natuna adalah milik Indonesia dan China tidak memiliki tumpang tindih wilayah dengan Indonesia. Hanya saja, Johanes, mengamati pernyataan China jauh berbeda dari sikapnya di lapangan. 

"Sebaliknya, insiden berupa masuknya kapal-kapal nelayan China dan intevensi kapal penjaga pantai China di wilayah ZEE Indonesia telah terjadi bahkan di 2010 dan 2013, meski pemerintah saat itu memilih untuk menyelesaikan permasalahan secara diam-diam, sehingga tidak menjadi perbincangan khalayak ramai," ujar ketua Forum Sinologi Indonesia itu. 

Jonahes memantau sejak 2016, rangkaian insiden yang menimbulkan ketegangan antara kedua negara terus meningkat. Apalagi, pada tahun 2016 tercatat setidaknya terjadi tiga insiden. Sedangkan dalam 3 tahun terakhir ini, yakni pada tahun 2019, 2020, 2021, dan 2022 ini berbagai peristiwa yang memperuncing ketegangan terkait perairan Natuna kembali terjadi.  

Johanes beranggapan China akan tetap melakukan aksi-aksi yang melibatkan kapal penjaga pantai dan kelompok-kelompok nelayannya di sekitar perairan Natuna Utara untuk mempertahankan klaim China atas wilayah yang ditandai dengan garis putus-putusnya di wilayah ZEE Indonesia di perairan tersebut.  

"Ini karena berbeda dengan pada masa lampau, China kini mengakui secara jelas bahwa meski tidak memiliki sengketa wilayah kedaulatan, China memiliki tumpang tindih dengan Indonesia dalam hak-hak kelautan dan kepentingan lainnya di perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu," ucap Johanes. 

 

Selain itu, Johanes mengingatkan kedatangan nelayan dan kapal penjaga pantai China hanyalah salah satu dari strategi yang digunakan negara itu untuk mempertahankan klaimnya. Strategi lainnya, menurutnya, adalah upaya akademik dan penelitian untuk mengangkat peristiwa-peristiwa pada masa lampau yang dapat mendukung klaim berbasis sejarah versi China, serta upaya untuk menarik Indonesia agar sepakat terdapat ketumpangtindihan antara Indonesia dan China pada wilayah tersebut. 

Oleh karena itu, Jonahes menawarkan opsi bagi Pemerintah Indonesia guna mempertahankan kedaulatan di Natuna Utara. "Pemerintah harus menolak secara tegas klaim China dalam hal apapun di wilayah ZEE Indonesia di perairan Natuna Utara, karena hak berdaulat Indonesia di wilayah itu sah berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea)," ucap Johanes. 

"Mendorong berbagai upaya yang terkoordinasi dan seirama antara setiap lembaga pemerintah untuk menjaga hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE tersebut," sebut Jonahes. 

Diketahui, kehadiran kapal penjaga pantai dan kapal-kapal nelayan China yang menurut laporan para nelayan lokal terjadi pada 8 September 2022 itu menambah panjang deretan ketegangan antara Indonesia dan China terkait perairan di kepulauan itu.  

 

Pada Desember 2021, China melakukan protes terhadap pengeboran yang dilakukan oleh Indonesia di wilayah tersebut. Sementara itu, gangguan dari nelayan dan Kapal Penjaga Pantai China terhadap otoritas Indonesia datang silih berganti setiap tahun sejak 2016. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler