Pemprov DKI Jakarta Dorong Kerja Sama Penanganan Polusi dengan Bodetabek

Strategi yang mencakup 75 rencana aksi itu dikhususkan pada tiga strategi

ANTARA/Aditya Pradana Putra
Warga mengenakan masker dengan latar belakang gedung-gedung bertingkat berselimut kabut asap di Jakarta, Kamis (25/8/2022). Lembaga data kualitas udara IQ Air pada Juli 2022 menempatkan Jakarta sebagai peringkat pertama dari sepuluh besar kota paling berpolusi di Indonesia dengan indeks kualitas udara di angka 180 karena konsentrasi Particulate Matter (PM) 2.5 Jakarta berada pada angka 111.5 mikrogram per meter kubik atau 22,3 kali di atas nilai pedoman kualitas udara tahunan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Rep: zainur mahsir ramadhan Red: Hiru Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, pihaknya telah merampungkan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) atau yang dulu disebut GDPPU. Menurut Asep, rangkaian strategi ini mencakup langkah-langkah dalam pengendalian terkait pencemaran udara dari hulu ke hilir. “Mulai dari pengembangan dan revisi kebijakan hingga pengawasan dan penegakan hukum,” kata Asep di Balai Kota, Senin (19/9/2022).

Baca Juga


Lanjut Asep, strategi yang mencakup 75 rencana aksi itu dikhususkan pada tiga strategi mulai dari tata kelola dalam menangani pencemaran udara hingga strategi pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. “Ini yang kita tindaklanjuti untuk kualitas udara ke depannya,” katanya.

Menyoal implementasi, Asep mengaku jika Pemprov DKI Jakarta tidak akan bisa menjalankan berbagai strategi itu sendirian. Oleh sebab itu, pihaknya sedang mengupayakan perjanjian kerjasama (PKS) dengan berbagai daerah di Bodetabek untuk ikut serta dalam mengurangi pencemaran udara. “Jadi saat ini Pemprov DKI sedang menyusun perjanjian kerjasama dengan Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi,” kata dia.

Ke depan, Asep memastikan daerah-daerah lain ikut serta dalam mencanangkan strategi pengendalian itu. Ditanya bentuk kerjasama yang saat ini mulai akan digarap, Asep mengatakan, DKI mengupayakan bentuk uji emisi bersama dan penyusunan kebijakan berkesinambungan. “Sehingga, rencana dan strategi ini bisa berlaku di wilayah lain juga,” tuturnya

Berdasarkan pemaparannya, penyebab polusi di DKI masih didominasi oleh penggunaan bahan bakar oleh kendaraan pribadi. Dengan jumlah kendaraan 20,22 juta unit per 2020 ini, kenaikan rata-rata jumlah kendaraan sepeda motor justru lebih rendah dari pada mobil penumpang, sekitar 4,9 persen. Sementara kenaikan mobil penumpang pada waktu sama mencapai 7,1 persen.

Dengan adanya jumlah itu, Asep berujar, ada hasil pengukuran dari lima SPKU terkait Indeks Kualitas Udara (IKU) Jakarta dari tahun ke tahun. Dia memerinci, skor IKU DKI lebih rendah dibanding daerah lain, dengan skor 53,50 hingga 78,78.

Tak sampai di sana, dampak yang dihasilkan berdasarkan data DLH, lanjut Asep, beririsan dengan penyakit ISPA. Total kerugian yang ditimbulkan oleh dampak tersebut, dinilainya mencapai 2 persen dari PDRB DKI Jakarta, atau sekitar Rp41,2 triliun.

Sementara itu, Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekda Provinsi DKI Jakarta Afan Adriansyah Idris mengatakan, Pemprov DKI akan terus mendukung penanganan pencemaran udara. Karena itu, pihaknya berniat mengajak perwakilan berbagai elemen pemerintahan, lembaga non pemerintah, akademisi hingga masyarakat umum dalam melaksanakan Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU) yang telah difinalisasi.

“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggalang dukungan dari pemangku kepentingan terkait, serta menghasilkan kolaborasi  untuk meningkatkan kualitas udara di  Ibukota,” ujar Afan.

Sementara itu, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, dalam menangani polusi udara yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor memang harus diproyeksikan oleh semua pihak di Jabodetabek. Meski demikian, kata dia, penanganan utama harus dari lembaga think tank sentral, yaitu Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). “Karena semua proyeksi perjalanan di Jabodetabek itu 70 hingga 100 juta perjalanan setiap harinya,” kata Alfred.

Dia mengatakan, perlu ada inventarisir transportasi utama yang dijadikan acuan target. Meski core energi berubah dari BBM ke listrik saat ini, dia meminta inti dari bisnis transportasi umum tidak berubah dan semakin ditingkatkan. “Biarkan fokusnya pada transportasi saja. Saat ini di Bogor sudah ada Bis Kita, tapi daerah Bodetabek lain bagaimana,” tanya dia.

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler