Rusia Peringatkan Prancis tak Lanjutkan Pengiriman Senjata ke Ukraina

Rusia mendesak sanksi ilegal terhadap produsen biji-bijian dicabut.

AP Photo/Evgeniy Maloletka
Prajurit Ukraina beristirahat di bekas posisi Rusia di daerah yang baru saja direbut kembali di Izium, Ukraina, Jumat, 16 September 2022. Rusia memperingatkan agar Prancis tak melanjutkan pengiriman senjata ke Ukraina.
Rep: Kamran Dikarma Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko melakukan pertemuan dengan Duta Besar Prancis untuk Rusia Pierre Levy, Selasa (20/9/2022). Pada kesempatan itu, Grushko memperingatkan agar Prancis tak melanjutkan pengiriman senjata ke Ukraina.

Baca Juga


"Perhatian difokuskan pada tidak dapat diterimanya pemompaan lebih lanjut Ukraina dengan senjata-senjata Barat, termasuk Prancis, yang digunakan rezim Kiev untuk menembaki fasilitas sipil dan infrastruktur," kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Rusia menjelaskan pertemuan Grushko dengan Levy.

Grushko dan Levy pun membahas tentang kemajuan penerapan kesepakatan koridor gandum Laut Hitam yang diteken Rusia-Ukraina di bawah pengawasan PBB dan Turki. Rusia mendesak sanksi ilegal terhadap produsen biji-bijian, termasuk gandum, dan pupuk asal negaranya dicabut. Moskow pun meminta agar hambatan untuk menyuplai pasar negara-negara berkembang disisihkan guna mencegah konsekuensi kemanusiaan yang parah.

Sebelumnya Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya menyoroti minimnya kemajuan dalam ekspor pangan dan pupuk asal negaranya di bawah kesepakatan koridor gandum Laut Hitam. Menurut Nebenzya, negara-negara Barat menyabotase bagian dari perjanjian tersebut.

"Untuk membantu negara-negara yang rentan, PBB mengusulkan penandatanganan apa yang disebut kesepakatan Laut Hitam. Kami (Rusia) mendukung inisiatif PBB. Inti dari perjanjian itu sederhana; ekspor makanan Ukraina dari tiga pelabuhan Laut Hitam yang dikuasai Kiev harus disertai dengan ekspor paralel makanan dan pupuk kami tanpa hambatan. Dengan demikian, menghubungkan dua jalur ekspor yang termasuk dalam perjanjian Istanbul yang terkenal, yang ditandatangani pada 22 Juli di Turki," kata Nebenzya, Senin (19/9/2022), dikutip laman kantor berita Rusia, TASS.

Selain itu, dia menekankan, memorandum yang sesuai antara PBB dan Rusia ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sendiri. Jadi, Nebenzya berpendapat, Guterres mempunyai kewajiban khusus untuk memfasilitasi transaksi ekspor operator ekonomi Rusia. "Hampir dua bulan setelah penandatanganan perjanjian Istanbul, koridor kemanusiaan maritim dari Ukraina ke Laut Hitam beroperasi dengan lancar, lebih dari 3 juta ton makanan telah berhasil diangkut melaluinya di lebih dari 100 kapal. Tapi apa yang disebut bagian Rusia dari kesepakatan itu tidak berhasil,” ujar Nebenzya.

"Guterres dan timnya melakukan upaya signifikan untuk membuka ekspor kami, tetapi, sayangnya, tidak ada kemajuan di sana. Di kubu Barat, mereka mengatakan bahwa produk pertanian dan pupuk tidak dikenakan sanksi, tetapi sebenarnya mereka menyabotase bagian Rusia dari perjanjian paket. Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara tentang ini secara rinci dan berulang kali," kata Nebenzya menambahkan.

Pada 22 Juli lalu, Rusia dan Ukraina menandatangani kesepakatan koridor gandum di Istanbul. Perjanjian itu diteken di bawah pengawasan PBB dan Turki. Dengan perjanjian tersebut, Moskow memberi akses kepada Ukraina untuk mengekspor komoditas biji-bijiannya, termasuk gandum, dari pelabuhan-pelabuhan di Laut Hitam yang kini berada di bawah kontrol pasukan Rusia. Itu menjadi kesepakatan paling signifikan yang dicapai sejak konflik Rusia-Ukraina pecah pada 24 Februari lalu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler