Menlu Eropa Gelar Pertemuan Darurat karena Ancaman Perang Putin

Putin kerahkan ratusan ribu warga Rusia ke Ukraina.

Anadolu Agency
Bendera Uni Eropa. Para menteri luar negeri Uni Eropa mengadakan pertemuan darurat di New York pada Rabu (21/9/2022) malam waktu setempat. Rapat darurat ini digelar setelah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pengerahan ratusan ribu orang Rusia untuk berperang di Ukraina.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Para menteri luar negeri Uni Eropa mengadakan pertemuan darurat di New York pada Rabu (21/9/2022) malam waktu setempat. Rapat darurat ini digelar setelah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan pengerahan ratusan ribu orang Rusia untuk berperang di Ukraina.

Baca Juga


Para menteri luar negeri berada di New York untuk menghadiri pertemuan tahunan para pemimpin dunia di PBB. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan, perintah Putin yang mengerahkan ratusan ribu orang untuk perang di Ukraina, menunjukkan kepanikan dan keputusasaan.

"Para menteri harus membahas ancaman ini, untuk menegaskan kembali dukungan berkelanjutan ke Ukraina dan untuk memperingatkan masyarakat internasional tentang situasi yang tidak dapat diterima, di mana Putin menempatkan kita semua," kata Borrell kepada wartawan.

Borrell mengatakan, para menteri akan membahas dukungan militer yang berkelanjutan untuk Ukraina dan kemungkinan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia. “Jelas Rusia ingin menghancurkan Ukraina. Kami tidak akan terintimidasi," ujarnya.

Dia juga mengatakan, sementara Uni Eropa mendukung Ukraina dengan memasok persenjataan dan tidak berpartisipasi dalam perang. Borrell tidak memiliki rencana untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov saat mereka berada di New York minggu ini. 

Presiden Rusia Vladimir Putin pada Rabu (21/9/2022) mengumumkan mobilisasi parsial warga Rusia untuk perang di Ukraina. Pengerahan ini berlangsung saat perang di Ukraina mencapai hampir tujuh bulan. Langkah ini diambil sehari setelah wilayah pro-Rusia di timur dan selatan Ukraina mengumumkan rencana referendum untuk menjadi bagian integral dari Rusia. 

“Kita berbicara tentang mobilisasi parsial, yaitu warga negara yang memenuhi syarat saat ini akan dikenakan wajib militer, dan mereka yang bertugas di angkatan bersenjata dengan spesialisasi militer tertentu dan pengalaman yang relevan,” kata Putin.

Referendum diperkirakan akan dimulai pada Jumat (23/9/2022) di Luhansk, Kherson, dan sebagian wilayah Zaporizhzhia dan Donetsk yang dikuasai Rusia. Putin mengatakan, keputusan untuk mobilisasi parsial bertujuan untuk melindungi Rusia dan seluruh rakyatnya.

"Ini untuk melindungi tanah air kita, kedaulatan dan integritas teritorialnya, untuk memastikan keamanan rakyat kita dan orang-orang di wilayah yang dibebaskan," kata Putin.

Empat wilayah yang dikuasai Rusia mengumumkan rencana Selasa untuk referendum dan menjadi bagian integral dari Rusia. Langkah ini dapat memberikan panggung bagi Moskow untuk meningkatkan perang di Ukraina.

Amerika Serikat (AS) menolak rencana referendum di kota-kota Ukraina yang diduduki oleh kelompok pro-Rusia. Washington juga tidak akan pernah mengakui klaim Rusia untuk mencaplok bagian dari Ukraina.

Baca juga : Uni Eropa Sepakat Jatuhkan Sanksi Baru kepada Rusia 

 

Penasihat keamanan nasional Gedung Putih, Jake Sullivan, pada Selasa (20/9) mengatakan, Moskow mungkin bergerak untuk merekrut pasukan di daerah-daerah itu setelah menderita kerugian besar di medan perang. Sullivan menyebut referendum itu sebagai penghinaan terhadap prinsip-prinsip kedaulatan dan integritas teritorial.  

“Jika ini benar-benar terjadi, Amerika Serikat tidak akan pernah mengakui klaim Rusia atas bagian Ukraina yang konon dianeksasi.  Kami tidak akan pernah mengakui wilayah ini sebagai apa pun selain bagian dari Ukraina. Kami menolak tindakan Rusia dengan tegas," kata Sullivan.

Para pemimpin yang ditempatkan oleh Moskow di empat wilayah pendudukan Ukraina berencana mengadakan referendum untuk bergabung dengan Rusia dalam beberapa hari mendatang. Langkah ini menjadi sebuah tantangan bagi Barat yang dapat meningkatkan perang secara tajam, serta mengundang kecaman dari Ukraina dan sekutunya.

Sejumlah tokoh pro-Rusia akan mengumumkan referendum pada 23-27 September di provinsi Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhzhia, yang mewakili sekitar 15 persen wilayah Ukraina. Beberapa tokoh pro-Kremlin menilai referendum sebagai ultimatum kepada Barat untuk menerima keuntungan teritorial Rusia atau menghadapi perang dengan musuh bersenjata nuklir.  

“Perambahan ke wilayah Rusia adalah kejahatan yang memungkinkan Anda menggunakan semua kekuatan pertahanan diri,” ujar mantan presiden Rusia dan sekarang menjadi Wakil Ketua Dewan Keamanan Presiden Vladimir Putin, Dmitry Medvedev.

Rusia menganggap Luhansk dan Donetsk sebagai negara merdeka. Sementara Ukraina dan Barat menganggap semua wilayah Ukraina yang dikuasai pasukan Rusia telah diduduki secara ilegal.  

Rusia sekarang menguasai sekitar 60 persen wilayah Donetsk dan telah merebut hampir semua Luhansk pada Juli.Namun keuntungan itu sekarang berada di bawah ancaman setelah pasukan Rusia keluar dari Kharkiv bulan ini, dan kehilangan kendali atas jalur pasokan utama mereka untuk sebagian besar garis depan Donetsk dan Luhansk.  

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan, Eropa dan negara-negara anggotanya tidak akan mengakui hasil referendum. Eropa akan mempertimbangkan tindakan lebih lanjut terhadap Rusia jika pemungutan suara untuk referendum dilanjutkan. 

sumber : Reuters/AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler